Assalamua'laikum . . .

Neupangkeun nami abdi Vivit Vinifera

Senin, 22 Maret 2010

ARTIKEL FiLink 2009 DEPARTEMEN EKSTERNAL FOSEI 2009
SekilasTentang Mazhab Dalam Ekonomi Islam
Selasa, 2009 Juni 09
Perlu diketahui sebagai sudut pandang para sarjana muslim dalam mengkaji ilmu ekonomi tersebut. Adiwarman (2002) memetakan pada tiga sudut pandang/mazhab dalam mengkaji ilmu ekonomi islam. Mazhab tersebut adalah Mazhab Baqir as-Sadr, Mazhab Mainstream, Mazhab Alternatif Kritis.
Mazhab Baqir as-Sadr dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan karya momentalnyaIstishaduna. Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak akan pernah bisa sejalan dengan islam. Keduanya tidak pernah dapat disatukan karena berangkat dari filosofi yang saling kontradiktif. Sejalan dengan itu, semua teori yang dikembangkan oleh ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan langsung dideduksi dari Al Quran dan As-Sunnah.
Berbeda dengan Mazhab Baqir, Mainstream tidak pernah sekaligus neninggalkan teori-teori konvensional yang telah dihasilkan. Hal ini terjadi karena pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Hanya saja letak perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan masalah tersebut. Permasalahan terkait dengan sumber daya yang terbatas dengan keinginan manusia yang tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai prioritas yang diperlukan. Dalam ekonomi konvensional, prioritas yang dibutuhkan akan sangat bergantung kepada selera pribadi. Sedang dalam mazhab ini dalam menentukan sebuah prioritas kebutuhan, konsumen tidak boleh berjalan semaunya tetapi dipandu oleh Al Quran dan as-Sunnah. Mazhab mainstream ini lebih jamak dikenal dan diaplikasikan di berbagai negara.
Mazhab berikutnya adalah Alternatif-Kritis yang dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo dan beberapa tokoh lain. Mazhab ini mengkritik dua mazhab sebelumnya Mazhab baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha menemukan teori baru yang sesungguhnya telah ditemukan oleh orang lain. Sedang mainstream dilihat sebagai jiplakan dari ekonomi neo-klasik dengan menghilankan unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan niat
Alternatif-Kritis mempunyai pendapat bahwa analitis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga tehadap ekonomi islam itu sendiri.
Dari ketiga mazhab tersebut diatas, pendekatan yang paling sering digunakan dalam mengkaji ekonomi islam adalah sudut pandang/mazhab mainstream. Mazhab ini paling lazim digunakan karena paling realistis dan pada beberapa sektor telah dapat menemukan teori-teori baru. Selain itu. Beberapa alasan yang diajukan adalah; pertama, tidak ada suatu cabang ilmu yang hadir dikemudian hari tanpa ada keterkaitan dengan disiplin ilmu yang telah dikembangkan pada masa sebelumnya. Kedua, fondasi rancang bangun ekonomi islam sampai saat ini belum sepenuhnya kokoh dengan berbagai macam teori-teorinya sebagaimana ekonomi konvensional. Ketiga, kritik yang diarahkan kepada mazhab mainstream bahwa ia hanya sebagai produk jiplakan neo-klasik menurut penyusun tidak dikatakan benar secara meyakinkan.
Terkait dengan alasan ketiga, Ugi Suharto (2004) dalam bukunya yang berjudul Paradigma Ekonomi Konvensional Dalam Sosialisasi Ekonomi Islam menyatakan bahwa ekonomi islam tidak bisa begitu saja terlepas dari ekonomi konvensional. Paradigma ekonomi konvensional akan tetap berfungsi dalam membentuk paradigma ekonomi islam dan pelaksanaannya. Teori-teori ekonomi konvensional,baik yang mikro maupun makro, akan tetap terpakai dalam diskursus ekonomi islam.
Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa dalam melakukan proses islamisasi ekonomi perlu mengambil tiga bentuk pendekatan yang adil terhadap ekonomi konvensional. Adapun pendekatan tersebut adalah:
a. Pendekatan menolak (negation)
Maksudnya bahwa tidak semua paradigma ekonomi konvensional bisa diterima masuk dalam ekonomi islam. Sebagian paradigma ekonomi konvesional, bahkan mungkin bagian yang paling fundamental, harus ditolak dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran islam.
b. Pendekatan memadukan (integration)
Selain menolak yang tidak sesuai, islam juga megakui kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem lain. Ekonomi konvensional yang tidak bertentangan dengan ajaran islam mesti diterima oleh ekonomi islam. Karena integralisme merupakan salah sau unsur dari islamisasi.
c. Pendekatan menambah nilai (value addition)
Ekonomi islam mampu memberikan nilai tambah yang baru dan memberikan nilai tambah yang baru dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Pada tataran ini peranan islamisasi ekonomi adalah dengan memasukkan nilai-nilai khusus islam yang tidak ada pada ekonomi konvensional.

TOKOH-TOKOH MAZHAB

Mazhab Mainstream
Pemikiran ekonomi Islam dari mazhab mainstream inilah yang paling banyak memberikan warna dalam wacana ilmu ekonomi Islam sekarang karena kebanyakan tokoh-tokohnya dari Islamic Development Bank (IDB) yang memiliki fasilitas dana dan jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga internasional. Tokoh-tokoh mazhab mainstream antara lain adalah M. Umer Chapra, M.A. Mannan, Nejatullah Siddiqi, Khurshid Ahmad, Monzer Kahf dsb.
Berbeda dengan pendapat mazhab Baqir As-Sadr dimana mazhab mainstream bisa membenarkan bahwa masalah ekonomi terletak pada persoalan kelangkaan (scarcity) sumber daya ekonomi dibandingkan dengan kebutuhan manusia. Menurut mazhab mainstrem bahwa memang secara keseluruhan tidak terjadi kesenjangan antara jumlah sumber daya ekonomi dengan kebutuhan manusia artinya ada keseimbangan (equilibrium). Namun secara relatif pada satu waktu tertentu dan pada tempat tertentu tetap akan dijumpai persoalan kelangkaan tersebut. Jadi kesimpulannya bahwa masalah ekonomi tetap dihadapi oleh manusia di dunia ini. Hal ini juga selaras dengan firman Allah SWT “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. Sementara pada sisi lain keinginan manusia secara relatif juga tidak terbatas artinya kalau sudah terpenuhi satu keinginan timbul keinginan lainnya demikian seterusnya. Keadaan ini dilukiskan dalam Al-Qur’an
Bermegah-megahan Telah melalaikan kamu[1598],
Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)
Dan janganlah begitu, kelak kamu akan Mengetahui
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin
Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim


Maksud bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya Telah melalaikan kamu dari ketaatan. Jadi sampai di sini tidak ada perbedaan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam. Perbedaannya terletak pada mekanisme menyelesaikan masalah ekonomi. Menurut pandangan mazhab mainstream bahwa penyelesaiannya masalah ekonomi tersebut harus merujuk pada Al-Qur’an dan Assunnah. Sedangkan dalam pandangan kapitalisme klasik melalui bekerjanya mekanisme pasar dan sosialisme klasik melalui sistem perencanaan yang sentralistis.
Karena sebagian besar dari tokoh mazhab mainstream ini adalah alumni dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika dan Eropa, maka kontribusi yang signifikan dari para tokoh mazhab mainstream adalah mampu menjelaskan fenomena ekonomi dalam bentuk model-model ekonomi yang canggih dengan pendekatan ekonometri. Mereka sukses menjelaskan ekonomi Islam dengan wajah ‘ilmu ekonomi’ sehingga mudah dipelajari dan enak dicerna bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi.

Mazhab Baqir As-Sadr
Pemikiran dari mazhab Baqir As-Sadr ini banyak dikembangkan dikalangan cendekiawan dari Iran dan Iraq. Cendekiawan yang menjadi pioner dari mazhab ini adalah Baqir As-Sadr dan Ali Shariati. Menurut pemikiran As-Sadr bahwa dalam mempelajari illmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek yaitu aspek philosophy of economics atau normative economics dan aspek positive economics. Contoh dari aspek positive economics yaitu mempelajari teori konsumsi dan permintaan yang merupakan suatu fenomena umum dan dapat diterima oleh siapapun tanpa dipengaruhi oleh ideologi. Dalam teori konsumsi dirumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suatu barang adalah tingkat pendapatan, tingkat harga, selera dan faktor-faktor non ekonomi lainnya. Berdasarkan hokum permintaan (law of demand) bahwa ada korelasi yang negatif antara besarnya tingkat harga barang dengan jumlah barang yang diminta asumsi ceteris paribus. Jika harga barang naik jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya. Fakta ini terjadi pada konteks ekonomi dimanapun dan oleh siapapun tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, agama, politik dsb.
Sedangkan dari aspek phylosophy of economics yang merupakan hasil pemikiran manusia, maka akan dijumpai bahwa tiap kelompok manusia mempunyai ideologi, cara pandang dan kebiasaan (habit) yang tidak sama. Persoalan ‘kepantasan’ antara satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya atau antara satu golongan masyarakat dengan golongan lainnya masing-masing memiliki batasan atau definisi sendiri. Makan sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri merupakan masalah yang pantas dan biasa di masyarakat Eropa namun lain halnya pada masyarakat di Indonesia. Dalam pandangan Islam bahwa sesuatu dianggap ‘pantas’ manakala hal itu dianjurkan dalam Islam dan sesuatu dianggap ‘tidak pantas’ jika hal itu dicela dan dilarang menurut syariah. Contoh lain misalnya menyangkut pembahasan ‘keadilan’. Menurut  konsep kapitalisme klasik yang dimaksud dengan ‘adil’ adalah you get what you deserved artinya ‘anda mendapatkan apa yang telah anda usahakan’. Sedangkan menurut kelompok sosialisme klasik menterjemahkan makna ‘adil’ yaitu no one has previlege to get more than others artinya tidak ada orang yang mendapatkan fasilitas untuk memperoleh lebih dari yang lain dengan kata lain bahwa setiap orang mendapat sama rata. Tetapi Islam mempunyai makna tersendiri dalam memaknai ‘adil’ yaitu laa tadhlimuuna wa laa tudhlamuuna artinya tidak saling mendhalimi satu sama lain.
Menurut pendapat mazhab Baqir As-Sadr bahwa terjadi perbedaan prinsip antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam, sehingga tidak pernah akan bisa dicari titik temu antara Islam dengan Ilmu ekonomi. Jadi menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas.  Dalam hal ini mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya
 
2.  Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS Al-Furqan : 2)

Jadi dalam hal ini konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini. Pada sisi lain mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak tak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.
Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan baik secara makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want) yaitu semakin rusaknya sistem keseimbangan lingkungan hidup karena sumber-sumber daya ekonomi terkuras habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas. Penebangan dan pencurian hutan (illegal logging), semakin menipisnya cadangan minyak bumi, menipisnya lapisan ozon, semakin sulitnya mencari sumber air, lunturnya nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan di masyarakat, dsb merupakan beberapa gambaran dari adanya ketidakseimbangan ekologi dan sosial yang diakibatkan ulah tangan manusia yang sekedar ingin memuaskan keinginan (want) yang tidak pernah berhenti.
Dalam perspektif ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam baik dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi. Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba, prostitusi, perjudian, bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas.  
Selanjutnya bahwa menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa
didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah baik yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan. Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu :
a.    Mengganti istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa selaras, setara dan seimbang (in between).
b.    Menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Assunnah.
Dalam hal itulah mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi  Islam.

Mazhab Alternatif
Berbeda dengan pandangan kedua mazhab sebelumnya, mazhab alternatif melihat bahwa pemikiran mazhab Baqir As-Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional. Sedangkan mazhab mainstream dianggap merupakan wajah lain dari pandangan neoklasik dengan menghilangkan unsur bunga dan menambahkan zakat.
Mazhab alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur Kura (Ketua jurusan Ekonomi University of Southern California), Prof. Jomo dan Prof. Muhammad Arief memberikan kontribusi melalui analisis kritis tentang ilmu ekonomi bukan hanya pada pandangan kapitalisme dan sosialisme tetapi juga melakukan kritik terhadap perkembangan wacana ekonomi Islam. Mereka berpandangan bahwa Islam adalah suatu pandangan atau ideologi yang kebenarannya mutlak tetapi berbicara mengenai ekonomi Islam berarti mengkaji pemikiran manusia tentang ayat-ayat Allah dan sunah Nabi dalam aspek ekonomi. Jadi menurut pandangan mereka ekonomi Islam adalah suatu wacana yang masih bisa diperdebatkan kebenarannya karena merupakan suatu tafsiran manusia terhadap Al-Qur’an dan Asunnah yang perlu diuji dan dikaji terus menerus.
Pemerintah Harus Perhatikan Konsep Ekonomi Islam
Ditulis oleh [ 24-11-2008 ]
Berita Nasional
User Rating: / 4
Dibaca: 1418 kali
Pemerintah diminta untuk lebih memperhatikan pengembangan konsep ekonomi Islam melalui Baitul Maal Watamwil (BMT), atau biasa disebut usaha kecil mikro sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi syariah, karena saat ini hampir sekitar 3.500 BMT sudah berkembang dan maju di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Jurusan Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Euis Amalia dalam diskusi penguatan ekonomi bangsa berbasis ekonomi syariah di Jakarta, Selasa (5/6).
Ia menilai, selama ini pertumbuhan usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) sangat membantu mengatasi kemiskinan dan pengangguran, namun keberadaan UKM masih mendapatkan hambatan, antara lain, belum adanya regulasi sebagai payung hukum keberadaan UKM untuk bisa mandiri.
"Keterbatasan mendapatkan bantuan sebagai modal dari dunia perbankan, keterbatasan sumber daya manusia yang belum menguasai ekonomi syariah, dan memahami ekonomi umum secara matang, juga menjadi hambatan pengembangan usaha kecil mikro ini, "jelasnya.
Sementara itu, Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Harisman menuturkan penguatan ekonomi syariah harus berdasarkan pada akidah, karena apabila pengembangan ekonomi syariah tanpa berbasiskan akidah akan berdampak pada akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
"Bagaimana mau menjalankan ekonomi syariah, kalau akhlak perilaku yang dilahirkan dari akidah tidak baik, karena kalau dari akhlak belum baik akan mengakibatkan terjadinya penyelewengan, " ungkapnya.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, tujuan dari perbankan syariah adalah menghasilkan kesuksesan yang hakiki dalam berekonomi, yakni tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan spiritual, serta kemakmuran material pada tingkatan individu dan masyarakat.
Dalam menghadapi persaingan dunia perbankan di Indonesia, Harisman menambahkan, perbankan syariah akan memperbaiki layanan kepada para nasabah, memberikan kemudahan, dan melakukan akselerasi pengembangan perbankan syariah. (novel)
 Sumber : eramuslim.com


Indonesia Jangan Hilangkan Kesempatan Majukan Ekonomi Syariah
Ditulis oleh [ 24-11-2008 ]
Berita Nasional
User Rating: / 3
Dibaca: 1019 kali
Sebagai penduduk muslim terbesar, seharusnya Indonesia tidak kehilangan momentum untuk memajukan pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia. Singapura yang bukan negara Islam telah berani mencanangkan negaranya menjadi pusat perbankan syariah di regional Asia.
"Islam kan paling banyak di Indonesia, harusnya momentum ini yang ambil Indonesia bukan Singapura, "ujar Anggota DPR Komisi Keuangan Nursanita Nasution kepada Eramuslim, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu(30/1).
Menurutnya, dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), telah menyebutkan bahwa perbankan syariah akan dikembangkan, namun pada kenyataannya bank syariah itu sudah ada lebih dari sepuluh tahun di Indonesia belum mempunyai payung hukum yang melindunginya.
"Sekarang yang jadi urgennya adalah kita membuat payung hukum, jadi keberadaan bank syariah itu diterima masyarakat Indonesia. Karena mayoritas masyarakat kita muslim, dan perkembangannya juga positif, "jelasnya.
Lebih lanjut Nursanita menjelaskan, Ketika terjadi krisis ekonomi bank syariah cukup bertahan, karena itu negara-negara lain yang non muslim sudah mulai mengembangkan instrumen-instrumen syariah secara internasional.
Ia menambahkan, seperti diketahui Charter Bank dan Citi Bank sudah mulai mengembangkan unit syariah, sebab mereka menganggap secara bisnis ini menguntungkan. (novel)
 
Sumber : eramuslim.com









Indonesia Harus Serius Terapkan Sistem Ekonomi Syariah
Ditulis oleh [ 24-11-2008 ]
Berita Nasional
User Rating: / 6
Dibaca: 1949 kali

Kesulitan ekonomi masyarakat semakin bertambah parah akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Indonesia seharusnya sudah mulai menggunakan sistem ekonomi yang berakar dari dalam negeri sendiri, yakni sistem ekonomi syariah yang berbasis kerakyatan dan berkeadilan.

Hal itu disampaikan oleh Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Achjat Iljas saat berbicara dalam diskusi umum "Muhammadiyah, Ekonomi Rakyat, dan Penanggulangan Dampak Kenaikan Harga BBM", di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/6).

"Seharusnya kita tidak perlu lagi mencari-cari sistem ekonomi lain dari luar negeri, sementara kita secara tidak sadar sudah memiliki sistem itu dan lebih baik daripada sistem dari luar negeri, " ujarnya.

Achjar menegaskan, sistem ekonomi syariah akan otomatis menjadikan rakyat sebagai prioritas, dan pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya.

Dalam kesempatan itu Achjar mengatakan, kondisi fundamental ekonomi Indonesia menghadapi masalah yang sangat serius, karena berbagai indikator ekonomi tidak juga membaik, ketika hampir semua negara menunjukkan perbaikan kondisi makro ekonomi.

"Kalau keadaan fundamental ekonomi kita kuat, seharusnya kenaikan harga BBM rata-rata 28 persen tidak akan terlalu berdampak serius di dalam negeri, " kata Anggota Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah ini.

Sementara itu Wakil Ketua DPD Irman Gusman, mengatakan pemerintah juga seharusnya fokus dalammenerapkan sistem ekonomi yang berkeadilan dan pemerataan.

"Kalau nanti efek dari sistem ekonomi berkeadilan dan pemerataan ini adalah kenaikan GDP, ya biarkan saja. Tapi prioritasnya tetap di sistem ekonomi yang berkeadilan dan merata, "pungkasnya. (novel)

Sumber : eramuslim.com

5 Bank Syariah Lahir Tahun 2009
Ditulis oleh [ 24-11-2008 ]
Berita Nasional
User Rating: / 3
Dibaca: 1505 kali

Jakarta - Industri perbankan syariah di Indonesia masih menjanjikan. Setelah dua Bank Umum Syariah hadir pada tahun 2008, maka pada tahun berikutnya akan ada 5 bank umum syariah lagi yang akan meramaikan pasar perbankan di Indonesia.

Demikian disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Fadjrijah dalam acara diskusi tentang perbankan syariah di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (12/11/2008).

"Tahun ini BRI Syariah dan Bukopin Syariah akan menjadi Bank Umum Syariah, izinnya sudah keluar bulan lalu. Tahun depan ada 5 lagi bank yang akan dikonversi Panin-Harfa, BCA-UIC, Victoria, Maybank Indonesia dan BNI Syariah. BTN syariah belum," urainya.

Dengan tambahan-tambahan bank syariah baru tersebut, BI optimistis target aset syariah 5-10 persen pada tahun 2010 akan tercapai. Menurut Fadjrijah, saat ini aset perbankan syariah Indonesia sekitar 2,2% dari seluruh aset perbankan nasional.

"Aset syariah di Indonesia berkembang 30% per tahun. Kalau total aset syariah dunia saat ini sekitar US$ 1,3 triliun. Ada sekitar 400 lembaga keuangan di dunia yang menawarkan produk syariah, termasuk sukuk," jelas Fadjrijah.

Fadjrijah menambahkan, sistem keuangan syariah memberi pondasi kokoh, underlying-nya riil. Untuk terus mengembangkannya, lanjut Fadjrijah, maka hal yang paling penting adalah menekankan masalah edukasi, positioning dan branding dengan slogan baru beyond banking.(qom/ir)

Sumber : detikfinance.com






Bisnis Syariah Adalah Solusi, Bukan Alternatif!
Ditulis oleh [ 24-11-2008 ]
Berita Nasional
User Rating: / 5
Dibaca: 1585 kali

Sistem ekonomi syariah awal kehadirannya di Indonesia hanya dijadikan sebagai alternatif solusi krisis moneter, namun saat ini ekonomi syariah tidak lagi hanya sekadar menjadi alternatif, tetapi ekonomi syariah menjadi solusi dalam berbagai persoalan umat manusia. Demikian diungapkan Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) KH Ma'ruf Amin menanggapi peranan ekonomi syariah dalam pertumbuhan ekonomi Nasional.
"Fakta sudah berbicara, bahwa sistem ekonomi konvensional yang selama ini diterapkan banyak negara di dunia, tidak hanya merugikan tetapi juga membahayakan umat manusia. Karena sistem ekonomi konvensional, yang diuntungkan hanyalah kelompok tertentu, bukan orang banyak, " jelasnya.
Sebaliknya, menurutnya, ekonomi syariah justru membawa perbaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Seperti yang terjadi saat krisis moneter 1997 silam, lembaga keuangan syariah di Indonesia, khususnya bank syariah, mampu bertahan dengan baik. Sedangkan bank-bank konvensional yang diandalkan menjadi roda ekonomi, mengalami masa sulit.
Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan, keunggulan ekonomi syariah sudah tidak diragukan lagi. "Sudah banyak contoh keunggulan ekonomi syariah. Sayangnya, masih banyak masyarakat muslim yang belum melaksanakannya secara konsekuen, " ujarnya.
Ia menjelaskan, ekonomi syariah mengajarkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kejujuran, transparansi, antikorupsi, dan eksploitasi. Artinya, misi utamanya menegakkan nilai-nilai akhlak dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan, ataupun negara.
Senada diungkapkan Pakar Ekonomi Syariah Adiwarman A Karim, dibandingkan dengan ekonomi konvensional, pertumbuhan ekonomi syariah jauh lebih pesat. Meskipun faktanya, aset perbankan syariah hingga saat ini belum mencapai dua persen pada tahun 2007. Namun Ia optimis, target Bank Indonesia terhadap pangsa pasar syariah sebesar lima persen di akhir tahun 2008 ini akan tercapai.
"Sebagai praktisi perbankan syariah, saya tetap optimis ekonomi syariah akan berkembang lebih baik, " ungkapnya.(novel/ht)
 
Sumber : eramuslim.com


Alangkah Indahnya Hidup dengan System Bagi Hasil
Oleh : Alihozi
Http://alihozi77.blogspot.com
 
Kesulitan likuiditas di industri perbankan sekarang ini belum mereda, mungkin sampai pada tahun 2009 nanti kondisinya masih akan seperti itu. Tak sedikit bank yang masih terus mencari duit untuk mempertahankan dan memperbesar posisi dana pihak ketiganya dengan berbagai cara, dari memberikan hadiah, berbagai fasilitas dan juga tentunya menaikkan tingkat suku bunga simpanan. Ada kemungkinan banyak bank yang berani menawarkan bunga melebihi batas bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sekarang ini cuma 10% untuk nasabah yang jumlah uangnya besar. Hal ini disebabkan karena derasnya kucuran kredit industri perbankan dan kucuran kredit ini tidak diimbangi dengan pasokan dana masyarakat yang masuk ke industri perbankan.
 
Perang suku bunga terjadi di kalangan perbankan nasional, kondisi ini tentu tidak mengenakkan buat perbankan, karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mempertahankan atau menarik dana nasabah yang akhirnya perbankan nasional menaikkan tingkat suku bunga untuk pinjaman (kredit). Naiknya tingkat suku bunga kredit tsb tentu saja bisa memberatkan sector riil atau anggota masyarakat dalam usahanya membayar kewajibannya ke sector perbankan, yang juga ditambah dengan daya beli masyarakat saat ini yang sedang mengalami penurunan.
 
Bagusnya sekarang kondisi perbankan nasional sekarang lebih kuat menghadapi krisis financial global daripada saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998 ini bisa dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat saat ini yang masih tinggi kepada perbankan nasional. Tetapi kalangan perbankan nasional harus tetap waspada karena dikhawatirkan tingkat suku bunga yang tinggi akan menaikkan tingkat kredit macet (NPL) karena sector riil atau anggota masyarakat bisa sewaktu –waktu gagal (macet) membayar kewajibannya kepada perbankan.
 
Contoh tingginya tingkat fluktuatif (volatilitas) sistem bunga yang diterapkan perbankan konvensional tsb karena salah satu penyebabnya adalah system bunga merupakan subsistem dari system ekonomi kapitalis yang tidak berazaskan keadilan tetapi berazaskan materialisme yang mana sangat memanjakan para deposan (pemilik dana). Para deposan dibuat untuk tidak ikut menanggung resiko dari usaha bank konvensional yang sewaktu-waktu bisa mengalami kerugian (kegagalan), mereka dibuat tidur nyenyak dengan janji-janji pasti mendapatkan bunga dari uang (dana) yang disimpan di bank konvensional.
 
Padahal di dunia ini tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dengan pasti pada hari esok, hanya Allah,SWT yang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada hari esok. Kita bisa melihat contohnya dengan terjadinya krisis financial global saat ini yaitu maksud dari bank-bank Eropa membeli surat utang lembaga keuangan AS yang beresiko tinggi (Credit Default Swaps) untuk mendapatkan bunga tinggi yang nantinya akan dibayarkan kepada nasabah deposannya. Bukannya bunga tinggi yang didapat justru dana yang ditanamkan di lembaga-lembaga keuangan AS tsb tidak bisa kembali.
 
Kalau saya analogikan system bunga seperti meminum syrup yang sangat manis, orang yang meminumnya terus menerus ketagihan manisnya sampai akhirnya secara tiba-tiba bisa mendatangkan berbagai penyakit kepada orang tsb seperti sakit gigi dan sakit diabetes yang parah.. Setelah terkena berbagai penyakit tsb, kesadarannya sudah datang terlambat, kondisi penyakitnya telah ikut merepotkan anggota keluarganya yang lain.
 
Mengapa saya analogikan seperti itu, karena system bunga menjadikan para deposan tidak perduli apabila bank tempat ia menyimpan tidak sanggup membayar tingkat suku bunga yang telah dijanjikan, seperti pada krisis perbankan tahun 1997-1998 yang mana bank konvensional banyak yang mengalami kondisi negative spread sehingga menimbulkan kepanikan di kalangan para deposan (krisis kepercayaan) yang berujung pada rush.
 
Kondisi tsb berbeda dengan bank syariah yang memakai system ekonomi syariah dengan subsistem bagi hasilnya, walaupun seperti meminum jamu yang rasanya pahit tetapi untuk jangka panjang sangat menyehatkan tubuh. Bagaimana tidak pahit rasanya di saat kalangan bank konvensional memberikan suku bunga s/d 70%, tingkat bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah pada saat itu hanya sekitar 8%. Tetapi pada akhirnya nasabah bank syariah tidak mengalami kepanikan seperti yang dialami nasabah bank konvensional karena bank syariah tidak mengalami kondisi negative spread dan juga karena keyakinan nasabah bank syariah akan bahaya system bunga yang ribawi.
 
Alangkah indahnya hidup ini andaikan seluruh perbankan nasional kita memakai system ekonomi syariah dengan subsistem bagi hasilnya bukan hanya sebagi alternative tetapi juga sebagai solusi dari krisis financial global. Sayangnya kapan hidup saat ini menjadi indah bagi semua orang dengan system ekonomi syariah, karena sebagian besar anggota masyarakat kita secara sadar atau tidak sudah terjebak kepada system ekonomi kapitalis dengan segala subsistemnya seperti uang kertas (fiat money), cadangan giro wajib minimum (fractional reserve requirement) dan system bunga (interest).
 
Andaikan ingin keluar dari system ekonomi kapitalis tsb misalnya dari subsystem bunganya saja, amatlah sukar dan payah sekali, ini bisa dilihat dari banyaknya anggota masyarakat yang hanya menjadi penonton dan pengkritik produk-produk dan kinerja bank syariah akan tetapi pada dataran implementatifnya masih memakai system bunga yang ribawi bukan sebagai pelaku ekonomi syariah seperti menjadi nasabah bank syariah. Wallahu’alam Al-Faqir

Kapitalisme Gagal: Menyambut Cahaya Baru Ekonomi Islam

Ditulis Oleh admin
Saturday, 27 December 2008
            Kapitalisme terbukti gagal. Dia terbukti hanya meninggalkan kegamangan berupa ekonomi-ekonomi balon yang dari hari ke hari semakin menggelembung, lalu pecah dan timbullah krisis. Krisis ekonomi global dewasa ini, yang diawali dengan krisis sub-prime mortgage di Amerika Serikat menjadi bukti, bahwa kapitalisme merupakan sistem yang terbukti rapuh dan pada akhirnya gagal menjadi solusi bagi problematika ekonomi dunia yang lebih stabil.
Indikasi kegagalan sistem ekonomi kapitalis sebenarnya memang sudah dapat diramalkan sejak awal. Menurut data mengenai kronologi krisis ekonomi (Roy & Glyn Davies, 1996), sejak pasca perang dunia I sampai sebelum tahun 2000 saja, sudah terjadi 21 krisis besar yang menghantam berbagai negara di dunia. Mulai dari negara besar seperti Jepang, USA, UK, sampai pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Krisis yang terjadi tersebut juga belum termasuk krisis-krisis keuangan kecil yang melanda berbagai belahan dunia. Krisis itu datang berulang dan terus menerus bahkan dengan frekuensi yang semakin sering terjadi mendekati millennium ketiga.
Definisi Kapitalisme
            Jika dapat dirunut dari definisinya sendiri, kapitalisme mengandung berbagai macam pengertian. Dr Syamsul Hadi, dosen Hubungan Internasional FISIP UI mendefinisikan, “kapitalisme bermakna bahwa satu sistem ekonomi yang didasarkan pada pemilikan kapital sebagai satu sentra. Dari seluruh aktivitas perekonomian, ya, sentranya disitu (kapital atau modal -red)”.
Berbeda dengan pendapat di atas, Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, Ketua Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI mengatakan, “Kapitalisme itu kan bagaimana dengan upaya yang sekecil-kecinya, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.” Senada dengan Pak Mustafa, Muhammad Iskandar, Mantan Ketua Departemen Sejarah yang juga Dosen Pengajar Sejarah Ekonomi dan Bisnis di Indonesia mengungkapkan, “prinsip kapitalisme berupaya seminimal mungkin modal keluar tapi semaksimal mungkin hasil”.
            Pertanyaannya, mengapa kapitalisme yang selama ini dijunjung dengan tinggi-tinggi sebagai salah satu sistem ekonomi terbaik dunia pada akhirnya juga mengalami kegagalan? Padahal setelah sosialisme di awal tahun 1990-an tumbang, hanya kapitalisme yang mampu menjadi sistem perekonomian dunia yang dominan.
            Krisis ekonomi global yang ada sekarang telah menjadi salah satu indikator paling nyata bagi kapitalisme, bahwa dia telah gagal. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D., yang juga dosen mata kuliah ekonomi syariah di FEUI mengatakan penyebab kegagalan kapitalisme, “Ya, sudah jelas. Sebenarnya, keruntuhan kapitalisme ini sudah diramalkan jauh-jauh hari karena dianggap akan menciptakan kelas-kelas dalam masyarakat. Kelas pemilik modal,dan kelas ekonomi lemah. Yang kuat akan semakin kuat, dan yang lemah semakin tertindas. Siapa yang meramalkan ini? Karl Marx. Sayangnya solusi yang Karl Marx kemukakan (sosialis -red) runtuh lebih cepat dari kapitalisme itu sendiri.”
Ketika ditanya mengapa kapitalisme dapat bertahan begitu lama, Ali Sakti, Junior Researcher Direktorat Perbankan Syariah BI, menjawab, “Ya. Karena semuanya mempertahankan, karena kebanyakan yang mempertahankan adalah orang-orang yang kaya. Karena juga orang-orang itulah yang membuat piranti-piranti supaya bisa bertahan. Mereka yang membuat buku-buku teks untuk dipelajari orang. Para remaja, mahasiswa.”
Jejak Kapitalisme di Indonesia
            Bagaimana dengan  perkembangan kapitalisme di Indonesia? Di Indonesia sendiri, jejak kapitalisme dimulai ketika penjajah Belanda mulai menjejakkan kakinya di Indonesia. Ketika dimintai penjelasan mengenai bagaimana kronologi kapitalisme di Indonesia, Dr. Syamsul Hadi mengatakan bahwa awal mula kapitalisme di Indonesia adalah kolonialisme, “Kolonialisme, kita lihat disini bagaimana kolonialisme. Kalau awal-awal mereka (penjajah -red) datang, mereka itu sebetulnya lebih banyak dagang ya, jadi kapitalisme dagang. Disebut kapitalisme karena mereka sudah pakai kapal (yang merupakan modal atau kapital -red) ke sini.”
            Dr. Syamsul Hadi juga melanjutkan bahwa kapitalisme dagang tersebut kemudian berubah menjadi kapitalisme produktif. “Waktu kapitalisme produktif mereka pakai sistem pabrik gula. Mereka juga menggunakan culturstelsel. Dengan itu, mereka memakai kapitalisme pertanian dengan cara yang sangat kasar kan gitu. Mereka punya modal untuk bikin gula, bikin tebu. Jadi itu prinsip kapitalisme tadi, ya, yang diadopsi dari ilmu ekonomi, dengan modal sekecil-kecilnya, dapat untung sebanyak-banyaknya.”
            Muhammad Iskandar juga sepakat bahwa jejak awal kapitalisme di Indonesia dimulai ketika praktek tanam paksa terjadi di Indonesia. Ketika itu jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman-tanaman yang laku keras di pasar komoditas dunia. “Ini terlihat dalam tanam paksa. Karena tanaman yang diproduksi di perkebunan di kepulauan indonesia ini semua berorientasi pasar. Berbeda dengan prinsip pertanian yang dianut masyarakat saat itu, orientasinya swasembada atau memenuhi kebutuhan, bukan memenuhi pasar. Nah ini yang berbeda.”
            Padahal, menurut Ali Sakti, masyarakat Indonesia sebelum era kolonialisme menganut sistem yang lebih baik dan lebih sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. “Sementara apa yang dilakukan oleh Indonesia yang dulu dianggap sebagai ekonomi tradisional, lebih diwarnai oleh adat atau bahkan nilai-nilai Islam yang memang sudah berkembang. Seperti misalnya praktek maro (separuh; membagi sesuai dengan bagiannya masing-masing -red), bagi hasil dan sebagainya. Kalo maro itu kan tradisi, suku-suku yang melakukan bagi hasil dalam berkongsi atau bersyirkah antara pemilik modal dengan pengusaha, atau antara pemilik tanah dengan buruh tanah. Ini kan bagi hasil. Itu kan sebenarnya prinsip-prinsip islam.”
            Pasca era tanam paksa tersebut, kebijakan kemudian berubah. Kapitalisme di Indonesia berganti. Pemainnya bukan lagi sekedar penjajah Belanda, tetapi telah terdiversifikasi. Menurut Muhammad Iskandar, “Ini barangkali yang disebut awal kapitalis yang lebih murni. Jadi yang membedakan dengan periode sebelumnya. Kalau sebelum 1870 memang banyak eksploitasi perkebunan, tapi itu milik pemerintah. Tapi setelah 1870 itu milik swasta. Muncullah perkebunan yang besar untuk pasar dunia.”
Masa ini, menurut Muhammad Iskandar, disebut juga masa kapitalis bebas karena selain di bidang perkebunan, sektor swasta juga mulai merambah sektor lain.“Namanya kapitalis, kan bebas, liberal, bebas, jadi pasar yang menentukan. Mereka mendatangkan impor dari Belanda. Industri tenun dari Twente itu masuk ke sini. Jadi yang tadinya pembuat batik-batik itu mengambil bahan-bahan kainnya dari penenun tradisional, sekarang dia melihat karena tenunannya lebih bagus dan lebih murah. Kan lebih murah kalau dengan mesin. Ngapain kain tenun tradisional yang jarang-jarang, kadang-kadang gak rata. Lama kelamaan matilah produk domestik oleh impor itu.
Akhirnya, kapitalisme berkembang sampai sekarang di Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir, praktek kapitalis semakin menjadi dengan privatisasi berbagai BUMN milik negara, sampai kontrak kerja sama pertambangan dan pengeboran minyak yang sangat merugikan negeri ini.
Kegagalan Kapitalisme
Di mana letak kegagalannya? Mengapa sistem ekonomi yang sehebat itu bisa begitu saja hancur? Mustafa Edwin, yang juga ketua IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) Indonesia, menerangkan secara filosofis penyebab gagalnya kapitalisme.“Kalau dalam istilah kita, ada maghrib yaitu maysir, gharar, dan riba. Semua itu ada di sistem ekonomi kapitalisme. Maisir atau judi, kita lihat bagaimana kapitalis itu menjadikan judi menjadi legal dan sistematis, seperti di pasar saham. Gharar, semua yang diajarkan dalam sistem ekonomi kapitalisme ini adalah bagaimana meyakini spekulasi. Padahal Allah mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Dan tentu saja riba (yang secara sederhana berarti praktek membungakan uang -red).”
Selain itu, penyebab lainnya, menurut Mustafa Edwin adalah penggunaan alat tukar. “Kita semua diberikan selembar kertas yang mungkin harganya hanya beberapa cent, kemudian dibubuhi tinta, diberikan cetakan Rp.100.000 misalnya. Dan kita dipaksa untuk mempercayai bahwa nilai kertas itu benar-benar Rp.100.000. Padahal lambat laun nilai itu akan habis dimakan inflasi. Tapi orang-orang kan tenang-tenang saja, selama tingkat pendapatan masih lebih tinggi dari inflasi, padahal mereka tidak sadar, lambat laun nilai uangnya digerogoti.”
Senada dengan Mustafa, Ali Sakti juga sependapat bahwa kegagalan kapitalisme adalah karena adanya penggunaan bunga dalam ekonomi kapitalis, “Karena ada bunga, akan ada orang-orang yang tidak merasakan potensi ekonomi. Jika ada bunga, maka uang akan semakin tertarik ke sektor keuangan sementara sektor barang dan jasa semakin sulit sehingga inflasi terjadi.”
“Faktor lain yang menyebabkan kehancuran kapitalisme adalah  greediness (ketamakan -red) dari orang-orang kaya. Kalau anda punya uang 1 Milyar, karena ada bunga, maka pilihan anda apa? Pertama, buka warung atau disimpan aja deh di bank nanti jatuh tempo kan dapat bunga. Saya enggak kerja apa-apa, enggak banting keringat, saya dapat uang. Jika semua orang berfikir rasional, maka orang-orang yang punya 1 Milyar akan meletakkan uangnya pada instrumen bank. Maka siapa yang memproduksi barang? Akhirnya barangnya sedikit. Kalau barangnya sedikit, berarti harganya naik. Kalau harganya naik, ya yang bisa beli cuma  anda saja yang punya 1 Milyar,” tambah Ali Sakti dengan panjang lebar.
Jika diambil kesimpulan, maka jelaslah bahwa kehancuran kapitalisme secara fundamental disebabkan dua hal, sistem yang salah (karena adanya pengenaan riba) dan ketamakan dari para kapitalisnya sendiri.
Geliat Ekonomi Islam
            Dalam bukunya The Clash of Civilization, Samuel P. Huntington mengungkapkan bagi kalangan umat Islam, kebangkitan keagamaan merupakan fenomena yang melanda masyarakat urban yang berwawasan modern, sangat berpendidikan, memiliki karir dalam berbagai profesi, baik dalam pemerintahan maupun dunia bisnis. Dari pemahaman inilah, kemudian kebangkitan keagamaan yang terjadi pada masyarakat urban tersebut menciptakan pertentangan terhadap sistem ekonomi yang sekarang ada. Mereka menganggap, sistem ekonomi sekarang telah banyak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan.
Ali Sakti, yang  juga peraih gelar S2 dari IIUM (International Islamic University, Malaysia) mungkin mewakili pendapat generasi yang diungkapkan Samuel Huntington tersebut, “Lha kalau memang dia sudah cacat kenapa enggak sistem ekonomi yang dipakai adalah sistem dari Dzat yang menciptakan manusia, sehingga Dia (Allah SWT -red) paham betul manusia itu seperti apa.”
Sejalan dengan pemikiran Ali Sakti, Mustafa Edwin juga menegaskan bahwa ekonomi Islamlah sebenarnya solusi dan alternatif yang kini ada,”Kalau di dunia internasional, para ekonom itu juga sudah menyadari, ada yang tidak benar dalam sistem ekonomi kapitalis ini. Mereka mencoba mencari-cari alternatif, dan solusi yang mereka dapatkan sebenarnya sudah ada dalam Islam.”
Maka, pada akhir dekade 1990-an sampai sekarang, muncullah banyak lembaga, perangkat/instrumen, sampai dengan regulasi yang mendukung perkembangan sistem ekonomi Islam tersebut. Di Indonesia, kita dapat melihat sendiri keberadaan nyata ekonomi Islam sejak 1992, yaitu kemunculan Bank non-riba pertama kali, sampai kemudian disusul munculnya banyak bank-bank yang menggunakan prinsip Islam lainnya (bank syariah) di awal dekade 2000. Di sisi perangkat, Bank Indonesia (BI) kemudian membentuk Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) yang memayungi perbankan syariah di Indonesia. Selain itu, dari sisi regulasi, di tahun 2008, DPR telah mensahkan UU SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), yang mengatur tentang kebolehan penerbitan obligasi sesuai dengan syariah.
Bahkan, bank-bank berskala internasional dan negara-negara yang notabene penduduknya mayoritas nonMuslim pun banyak yang melirik sistem keuangan baru, yang merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam. Ekonomi Islam mulai menggeliat.
Ekonomi Islam : Peluang dan Tantangan di Masa Depan
Ketika ditanya apakah benar bahwa ekonomi Islam dapat menjadi jawaban sebagai sistem ekonomi di masa yang akan datang, Ali Sakti menjawab, “Iya. Ini solusi terbaik karena kita harus kembalikan ke ekonomi dengan ukuran kemanfaatan.”
“Mana yang lebih bermanfaat, ekonomi yang menentramkan orang kaya atau ekonomi yang menentramkan semua golongan. Kalau kapitalis, hanya melihat orang kaya saja yang punya kapital, tapi untuk orang-orang yang enggak punya kapital gimana? Bunga semakin naik, keuntungan orang kaya semakin naik. Ini kan berarti masa depan usaha orang miskin akan semakin buram karena harga modal semakin mahal. Dalam ekonomi syariah, kita tidak mengenal itu. Yang kita kenal adalah menolong orang dengan uang yang kita punya, dan kalau ada lebih kita share,” tambah Ali Sakti bersemangat.
Lalu bagaimana tantangan yang sebenarnya ada dalam menerapkan ekonomi Islam. “Tantangannya, bagaimana meyakinkan masyarakat. Tidak usah jauh-jauhlah, bagaimana meyakinkan ummat muslim sendiri untuk berorientasi akhirat dan akhirnya mau menerapkan sistem ekonomi ini,” kata Mustafa Edwin yang juga akrab dengan panggilan Pak Mus ini.
Jangan-jangan kita, mahasiswa, sebagai golongan intelektual yang belum bisa meyakinkan masyarakat bahwa inilah sistem ekonomi masa depan. Atau malahan kita sendiri juga belum memahaminya. Wallahu ‘alam bisshawab.
           
Hanief,Chai,Qq,(reporter satu orang lagi lupa,,, siapa ya?)
  
Referensi:
Samuel P Huntington, The Clash of Civilization (edisi terjemahan)
Dahlan Iskan, Ketika Langit Masih Kurang Tinggi
Lampiran
Tabel.1 Kegagalan Kapitalisme: Krisis Ekonomi yang Berulang
 
Tahun
Kronologi Krisis (Roy & Glyn Davies, 1996)

1860-1921
Peningkatan Jumlah Bank di amerika s/d 19 Kali Lipat

1907
Krisis Perbankan Internasional dimulai di New York

1913
US Federal Reserve System

1914-1918
Perang Dunia I

1920
Depresi Ekonomi di Jepang

1922-1923
German mengalami hyper inflasi. Karena takut mata uang menurun nlainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari

1927
Krisis Keuangan di Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan. 1981 – 1901     Jumlah Bank bertambah 20 kali lipat

1929-1930
The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terbangkas lebih dari setengahnya

1931
Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas.

1944-1966
Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya.

1944-1946
Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits) hingga 27 digits.

1945-1946
Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua.

1945-1955
Krisis Perbankan di NigeriaAkibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945

1973-1974
Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England  meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

1974
Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England  meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

1978-1980
Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.

1973-1974
Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England  meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

1974
Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England  meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

1978-1980
Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.

1997
Krisis Keuangan di Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan.

1998
Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng.

1998
Krisis Keuangan di Rusia; jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi)

1999
Krisis Keuangan di BrazilKrisis Keuangan di Argentina

Sumber: Ali Sakti, presentasi dengan judul ‘Selamat Datang Krisis!’






 


Dikirim oleh: Zulanief Matsani

Pakai BI Rate untuk Stimulus
FoSSEI.org.- JAKARTA, KAMIS - Sektor riil membutuhkan stimulus fiskal dan moneter agar bisa bertahan dalam masa krisis sekaligus tetap menjadi penopang pendapatan rumah tangga. Salah satu cara yang paling efektif dari sisi moneter untuk menstimulus sektor riil adalah menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate.

Demikian terungkap dalam diskusi ”Krisis Finansial, Kontestasi Politik dan Prospek Ekonomi 2009” yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rabu (26/11) di Jakarta.

Ekonom Senior Indef Mohamad Ikhsan Modjo dalam paparannya menjelaskan, dalam situasi krisis seperti saat ini, kebijakan moneter seharusnya lebih ditujukan untuk mendorong pertumbuhan dan memperluas kesempatan kerja.

Menurut dia, kebijakan moneter yang ditujukan semata untuk mengendalikan harga atau inflasi tidak lagi efektif, terlebih saat krisis saat ini.

Seperti diinformasikan, sejak krisis menyergap pasar keuangan global dan domestik, Bank Indonesia hingga kini masih belum menerapkan kebijakan moneter longgar, sebagaimana tecermin pada BI Rate.

Pada rapat dewan gubernur BI pada awal November 2008, BI hanya menahan BI Rate di level 9,5 persen.

Kebijakan BI tersebut dimaksudkan untuk menjaga ekspektasi inflasi dan meredam pelemahan nilai tukar. Namun, dalam sebulan terakhir, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merupakan yang terburuk di kawasan regional.

Tekanan inflasi

Pengamat moneter Iman Sugema menjelaskan, dalam situasi krisis, sebaiknya BI Rate diturunkan mengingat tekanan inflasi ke depan akan berkurang seiring melambatnya perekonomian. Penurunan BI Rate justru bisa menahan jatuhnya perekonomian secara tajam.

BI Rate yang rendah akan membuat suku bunga kredit menurun sehingga menjadi stimulus bagi kegiatan sektor riil. Suku bunga yang rendah juga mengurangi risiko kredit bermasalah dan beban pemerintah membayar bunga utang dalam negeri.

Dalam masa krisis ini, sebagian besar negara mengambil kebijakan menurunkan suku bunga acuan. Suku bunga acuan di China, misalnya, telah turun 54 basis poin (bp) menjadi 6,66 persen dalam dua bulan terakhir.

Bank Sentral AS telah menurunkan suku bunganya 100 bp menjadi 1 persen. Bahkan, suku bunga acuan di Hongkong turun 200 bp menjadi 1,5 persen dalam dua bulan terakhir.

Penurunan suku bunga acuan juga dilakukan Taiwan, Singapura, Korea, India, dan Vietnam. Adapun dalam dua bulan terakhir, BI Rate justru naik 25 bp menjadi 9,5 persen.

Deputi Gubernur BI Hartadi A Sarwono mengatakan, kebijakan moneter BI dengan negara lain agak berbeda karena situasinya juga berbeda. Perbedaan utamanya adalah inflasi Indonesia masih berada pada level yang tinggi meski telah cenderung turun.

Selain itu, pelemahan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak seburuk negara lain. Itu terlihat pada pertumbuhan kredit tahun 2008 yang mencapai 35 persen.

”Ini berbeda dengan negara lain yang pemburukan pertumbuhan ekonominya sangat drastis, sementara tekanan inflasi sudah cenderung turun,” katanya.

Tingginya BI Rate dan keringnya likuiditas telah mendorong suku bunga kredit naik dalam dua bulan terakhir. Suku bunga kredit pemilikan rumah, misalnya, telah naik 50 persen dari rata-rata 10 persen menjadi 15 persen per tahun. Sektor riil semakin tercekik oleh tingginya suku bunga kredit.(www.kompas.com)










Perbankan Syariah Terus Menggeliat

Ditulis Oleh admin
Thursday, 27 November 2008
FoSSEI.org.-JAKARTA, RABU - Meskipun pelan, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia cukup berjalan lancar. Bank-bank besar yang berkomitmen untuk masuk secuil demi secuil memperlihatkan perkembangannya. Sebut saja PT BRI Tbk dan PT BCA Tbk. Kini, BRI sudah mulai mengoperasikan anak usahanya yaitu Bank syariah BRI. Sementara, PT BCA Tbk yang sedang memproses izin ke Bank Indonesia (BI) untuk mengakuisisi Bank kecil yang nantinya akan dikonversi ke bank syariah.

Direktur Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) BRI Sulaiman Arif Arianto mengatakan, BRI Syariah sebenarnya telah beroperasi. "Kami sudah menjalankan operasional dari BRI syariah sudah sejak Senin lalu," tuturnya di sela-sela acara Investor Summit & Capital Market Expo 2008 kemarin (25/11). Tetapi cakupan operasi BRI Syariah tersebut masih terbatas.

Menurut Sulaiman, terbatasnya cakupan operasi bank syariah BRI disebabkan proses konversi dari bank umum menjadi bank syariah belum selesai sepenuhnya. Selain itu, saat ini BRI juga sedang melakukan spin off unit usaha syariah miliknya yang nantinya akan digabung dengan Bank BRI syariah. "Paling lambat enam bulan lagi semua proses dapat selesai," tambahnya.

Sementara itu, BCA pun juga akan mengambil langkah serupa dengan BRI. Pada bulan lalu, BCA mengumumkan akan mengakuisisi PT Utama Internasional Bank (Bank UIB) untuk dikonversikan menjadi bank syariah.

Wakil Direktur Utama BCA Jahja Setiatmadja mengatakan, BCA telah mengajukan fit and proper test ke BI untuk proses BCA menjadi share holder dari Bank UIB. "Kami menargetkan pada akhir Februari 2009 nanti sudah selesai proses tersebut," tuturnya.

Jika BI telah mengijinkan proses akuisisi tersebut, BCA akan melanjutkan lagi dengan mengajukan fit and proper test lagi ke BI. Tetapi fit and proper test kali ini untuk direksi. Nah, jika semua proses perijinan tersebut selesai baru kemudian BCA akan mengkonversi Bank UIB ke bentuk syariah. (www.kompas.com)

 



Ada Apa Sama Ekonomi Kita ?

Tuesday, 20 November 2007
    Sekilas kalo kita perhatikan dan emang udah diklaim sama para ekonom konvensional, inti dari masalah ekonomi dari jamannya kakek nenek kita masih gaul 'n funky sampe sekarang yang emang kakek nenek kita masih kayak gitu juga (kalo belum nyadar juga siy...) kayaknya masalah ekonomi cuma mudeng di masalah kelangkaan. Artinya... masalah ekonomi ditujukkan pada gimana sih caranya mengatasi kondisi kelangkaan akan sumber daya ekonomi yang sekarang lagi kita hadapi. Terus ramai-ramai dech para pemikir ekonomi konvensional mengeluarkan unek-unek mereka tentang cara yang paling efektif untuk keluar dari masalah ini. Terus berlajut ke solusi gimana cara memuaskan keinginan manusia yang katanya tak terbatas, sedangian mereka memiliki akses atau kemampuan mengelola sumber daya ekonomi yang katanya terbatas (langka). 
    Hari ini, kita lihat kemajuan berupa kelengkapan infrastruktur, fasilitas dan kemajuan teknologi yang semakin memudahkan hidup dan kehidupan kita menjadi klaim sebuah kesuksesan pembangunan ekonomi konvensional. Gedung-gedung yang megah, transportasi yang makin hari makin memendekkan waktu, telekomunikasi yang semakin buat kecil dunia, udah jadi prasasti ekonomi konvensional. Semua itu menjadi jejak betapa ekonomi modern telah berperan dalam pembangunan peradaban umat manusia.
    Setelah runtuhnya ideologi komunisme, kekuatan pasar jadi satu-satunya kekuatan yang paling istiqomah dipertahankan mati-matian oleh para ekonom modern saat ini. Prinsip kepuasan individu pun dibela bukan cuma dari Sabang sampai Merauke aja, tapi dari kutub utara sampai kutub selatan. Instrumen-instrumen yang dibuat untuk menunjang pembangunan ekonomi akhirnya konsisten sama prinsip umum tersebut. Terus... mau nggak mau parameter kemegahan dan keberhasilan pembangunan ekonomi direfleksikan oleh variabel-variabel jumlah materi yang udah dihasilkan oleh pelaku-pelaku ekonomi. Nggak heran kalo kemudian prilaku ekonomi dari individu-individunya sangat tergantung banget sama paradigma kekuatan pasar (kapitalisme), kepuasan individual (individualisme) dan materialistik (materialisme).
    Nah... di sini dah permasalahannya bisa kelihatan. Dalam aplikasinya, tujuan dan praktek ekonomi modern nggak berjalan seiringan louch! Kalo kata Melly Goeslaw "gantung" gitu dech... Keduanya nggak pernah bisa ketemu pada puncak pencapaian ekonomi. Malah yang terjadi adalah kontradiksi dan paradoks antara praktek dan tujuan, kerja dan harapan serta prilaku dan cita-cita. Kekacauan ekonomi kerap dan selalu terjadi, baik berupa krisis ekonomi maupun berbentuk kekacauan sosial. Pembangunan nggak malah ngasih kemakmuran yang merata namun semakin menunjukkan jurang ketimpangan yang semakin dalam (sumur kali...). Kemegahan ekonomi yang udah kita alami nggak semakin buat kita bersifat sosial yang mengedepankan nilai persaudaraan dan kekeluargaan tetapi malah membentuk dan menciptakan manusia-manusia yang rakus. Kue pembangunan makin lama makin menggunung disisi pemilik-pemilik sumber daya sementara individu-individu yang tak berpunya semakin banyak jumlahnya, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin makin sengsara. Bahkan angka kematian akibat kemiskinan jauh lebih besar jumlahnya daripada jumlah kematian akibat peperangan, pengangguran pun meningkat, inflasi yang merongrong daya beli semakin melangit, kriminalitas dan konflik-konflik sosial menjadi peristiwa keseharian yang menunjukkan ketimpangan sosio-ekonomi, kalo kata iklan biskuit... "sudah tradisi..."
    Hasil-hasil pembangunan yang diklaim selama ini berhasil tentunya bisa kita bantah dengan melihat fenomena kayak gini aja, bukan? Nah...! Kalo kayak gitu bisa dong kita simpulkan bahwa yang terjadi adalah kekacauan ekonomi bukan pembangunan ekonomi, karena kalo yang terjadi pembangunan seharusnya hasil pembangunan adalah sosio-ekonomi yang tertata, sembako yang merata, kemegahan dan kecanggihan fisik ekonomi berjalan bergandengan dengan mesra sama kemakmuran sosialnya, daya beli terhadap sumber daya ekonomi akan selalu dimiliki oleh setiap individu, stabilitas ekonomi akan terjaga demi kelanjutan pembangunannya. Nggak kayak sekarang bukan?
    Akhirnya sekarang kita nggak bisa dibohongi lagi bahwa ternyata dalam lebih dari satu abad ini perekonomian modern cuma menghasilkan manusia-manusia ekonomi yang materialistik, individualistik dan konsumeristik. Bukankah masalah moral semakin menunjukkan wajahnya dalam ekonomi modern ini?
    Terus gimana dong? Gimana menjawab ini semua? Gimana menjawab masalah hidup dan kehidupan kita dalam aktifitas berekonomi? Apa nggak cukup sama yang udah dibangun oleh kakek nenek kita yang sampe sekarang terus gaul 'n funky juga? Tidak begitu canggihkah pemikiran dan teknologi sehingga masalah ini menjadi berlarut-larut dan membuat berantakan apa yang sudah dibangun dengan susah payah?
    Oke... sekarang mari kita urai dengan sederhana kusutnya masalah ini. Kompleksnya masalah ekonomi ini kalo kita telusuri lebih jauh akan berpuncak pada satu masalah (ya iya lah... namanya juga puncak). Masalah tersebut adalah tentang prilaku ekonomi individu. Kayak yang dibilang sama Aa Gym bukan? Mulai dari diri sendiri.
    Masalah ini berpusat pada proses terbentuknya perilaku ekonomi, sehingga tumpuan perhatian untuk memecahkan ini semua terletak pada faktor-faktor pembentuknya seperti idiologi, tata nilai hidup dan kehidupan, paradigma teori dan praktek ekonomi serta sasaran atau tujuan aktifitas ekonomi.
    Duuh... jadi bingung yach? Jadi gini nich, kalo faktor-faktor pembentuk dari perilaku ekonomi nggak beres, so ujung-ujungnya pun nggak akan beres, jadi kita perlu sebuah sistem ekonomi yang punya idiologi yang kuat dan bernilai moral yang baik, yang selalu harmonis antara gagasan dan tindakan, praktek dan tujuan, kerja dan harapan serta prilaku dan cita-cita. Tambah bingung? Tenang-tenang... Jitu berarti kamu masih normal...
    Nah... sekarang coba dech kita cari, Ada nggak sih sistem ekonomi seperti yang kita harapkan di atas? Coba kita lirik sedikit ke kanan! Ada si Udin! Ups bukan itu... sampingnya lagi! Waaah bercahaya! siapa sih? Itulah Islam! Islam sebagai sistem hidup dan kehidupan manusia yang syamil dan mutakamil sangat tepat untuk menjadi sumber hukum dan rujukan dalam hidup kita, termasuk pengembangan ekonomi. Bersumber dari Allah yang menciptakan kita membuat Islam mengeliminasi risiko tercemarinya sistem ekonomi dari kelemahan sistem yang berasal dari manusia, karena kelemahan konvensional berawal dari hal ini, dimana kelemahan alamiah (fitrah) dari manusia menjadi build in dalam sistem yang mereka ciptakan. Ibaratnya kalo kamu beli HP, pasti si pembuat HP akan membuat buku panduan tentang cara penggunaan HP tersebut bukan? Tujuannya apa? Ya biar HP tersebut nggap cepat rusak khan? Begitu juga manusia dan Penciptanya. Pasti Sang pencipta manusia akan membuat "buku panduan" agar manusia nggak rusak. Apa mungkin seorang tukang sayur bisa membuat buku panduan HP-nya yang dia sendiri nggak paham banget tentang seluk beluk HP tersebut. (Hebat yach...?! sekarang tukang sayur aja sudah punya HP sendiri!)
    Lalu, kayak apa sih bentuk ekonomi yang ditawarkan Islam? Nggak jauh beda sama ilmu-ilmu lainnya, Islam juga punya sistem yang syamil dan mutakamil loh... termasuk dalam masalah ekonomi. Kayak sebuah rumah, pasti kokoh nggaknya tu rumah tergantung sama pondasinya, bukan? Kalo pondasinya rapuh, so pasti tinggal menghitung hari aja itu rumah bakalan roboh. Tapi kalo pondasinya kuat sekuat macan (emang biskuit...), mau diterpa angin topan, hujan badai atau gempa tektonik plus vulkanik sekalipun, bakalan terus berdiri kokoh.
    Nah gitu juga dengan Islam. Akidah yang kokoh berisi tentang tauhid pengakuan dan keyakinan yang kuat kepada Allah, Sang Penguasa Alam dengan segala konsekuensinya pada pola pikir, emosi dan perilaku dalam aktifitas keseharian kita jadi elemen utama dalam kita berekonomi (Ingat! Materi Syahadatain). Apalagi di Islam kita punya uswatun hasanah, yang patut kita teladani yaitu Rasulullah SAW. Dengan segala kemuliaan akhlaknya dalam berperilaku dan bergaul, bisa membuat hidup makin hidup dari kehidupan yang sebenarnya.
    Islam mengajarkan kita untuk nggak hidup bermewah-mewahan, nyari kerja yang halal, selalu ingat zakat, infak dan shodaqoh, menjauhi riba dan nilai nilai moral lainnya yang nggak lain dan nggak bukan adalah rangkuman dari akidah, akhlak dan syariah yang menjadi rujukan utama ekonomi Islam. Dari nilai-nilai ini bisa tergambar bahwa ekonomi Islam itu nggak cuma bertumpu pada pemuasan individu aja, tapi juga ada interaksi kolektif. Emang kita nggakdilarang untuk kaya-raya bahkan dianjurkan, tapi dalam islam ada aspek pengendalian agar si kaya mau peduli juga sama si miskin.
    Dengan nilai-nilai yang kayak gitu bisa terlihat bahwa ekonomi Islam beda banget dong sama ekonomi konvensional. Tolak ukur kepuasan nggak lagi terpatok cuma pada kepuasan individu aja. Adanya pembagian yang adil antara individu dan kolektif jadi ciri khas utama dalam ekonomi islam. Dengan nggak diikutserkannya riba, spekulasi, judi dan konco-konconya serta berjalannya mekanisme zakat, bagi hasil dan istrumen yang sejalan dengan itu bisa membuat perilaku ekonomi mendekati full employment dengan pasar yang bergairah dan nggak takut sama makhluk yang bernama inflasi akibat dari kesalahan sistem dan pemain-pemainnya.
    Nah... kalo itu dah berjalan, tinggal kita demo ke DPR (Ups! Bukan provokator niy...) buat mendukung sistem ini lewat penerapan infrastruktur yang oke dan peraturan-peraturan yang membuat aktifitas ekonomi Islam lebih stabil. Jangan lupa juga kita minta ke mereka untuk membuat mekanisme pasar yang adil serta memelihara prinsip-prinsip syariah dalam mekanisme tersebut.
    Nah... kalo itu juga dah berjalan dengan harmonis tanpa ada dusta diantara kita... tinggal kita terapkan dech dengan konsisten pada nafas-nafas akidah, syariah dan akhlak yang udah kita bahas tadi. Bukan nggak mungkin loh pertumbuhan ekonomi yang mensejahterakan dan stabil akan terjadi, baik fisik maupun sosial masyarakatnya. Interaksi dan pembangunan dengan tidak terbatas dari kacamata individu tapi juga kolektif makin menegaskan bahwa ekonomi islam merupakan satu-satunya solusi untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dari kesejahteraan bersama.
    Terus... gimana teori perilaku ekonominya? Kayak apa mekanisme sama mikro dan makroekonominya? Gimana sama nasib teori keseimbangan umum, kebijakan-kebijakan untuk pembangunan ekonomi dan teori-teori lain sebagainya? Hmmm tunggu berita selanjutnya...





BI Bentuk Komite Perbankan Syariah

Ditulis Oleh admin
Thursday, 27 November 2008
FoSSEI.org.- JAKARTA, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) bernomor 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah (KPS) sebagai implementasi fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang sistem perbankan syariah yang tertuang dalam UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.

Keanggotaan KPS terdiri dari perwakilan Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang, dengan jumlah anggota paling banyak terdiri atas 11 (sebelas) orang serta diketuai oleh perwakilan dari Bank Indonesia.

"Masa jabatan anggota KPS di luar Bank Indonesia adalah dua tahun, dan dapat diperpanjang paling banyak dua kali masa jabatan," sebut PBI seperti dikutip di situs BI.

Adapun tugas KPS berdasarkan PBI yang mulai berlaku pada 20 November 2008 itu, adalah membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah, memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa MUI kedalam PBI serta melakukan pengembangan industri perbankan syariah.

Anggaran dan biaya-biaya sehubungan pelaksanaan tugas KPS menjadi beban anggaran Bank Indonesia. Disebutkan, KPS bertanggung jawab kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan tugasnya, komite ini dibantu oleh Sekretariat Komite.

Sebelas Pakar di Komite Perbankan Syariah

Sebelas pakar memperkuat Komite Perbankan Syariah (KPS). Para pakar ini, dipercaya bakal memperkuat strategi pengembangan industri perbankan syariah di Tanah Air. 
 
Ada pun anggota KPS periode 2008-2010 adalah KH.Ma’ruf Amin (pakar bidang syariah), Dr.Alwi Sihab (pakar hubungan internasional dan Timur Tengah), Prof. Dr. Nazaruddin Umar (pakar pemikiran Islam), Yuslam Fauzi, SE, MBA (praktisi dan pakar Perbankan Syariah), Dr. M. Syafii Antonio (pakar bisnis syariah).

Kemudian Hermawan Kartajaya (pakar marketing), Prof. Erman Rajagukguk, SH, LL.M, Ph.D (pakar hukum dan praktisi hukum keuangan syariah), Ir. Iman Sugema, Mec, Ph.D (pakar dan pengamat ekonomi), Ir. M. Syakir Sula, AAIJ, FIIS (pakar asuransi/ ekonomi syariah), Ramzi A. Zuhdi, (Direktur Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia), dan Eddy Sulaeman Yusuf (Direktur Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia). (www.kompas.com)

BI Rate Turun Berkah Atau Rugi Bank Syariah



Rabu, 18 Maret 2009
Penurunan suku bunga atau BI rate yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI)  sebesar 7,75 %  merupakan respon positif bagi penekanan laju inflasi yang terjadi saat ini dan sekaligus mencegah krisis keuangan global. Apalagi jika melihat angka pertumbuhan ekonomi nasional hanya diperoleh dari dua sektor saja, belanja pemerintah dan daya konsumtif rumah tangga. Sedangkan investasi dan ekspor mengalami penurunan. Jadi kebijakan penurunan suku bunga yang terjadi saat ini merupakan bentuk stimulus ekonomi pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan. 
Tapi—meskipun demikian, pelaku perbankan sebagai lembaga intermediasi masih tetap “kekeh” dalam menentukan suku bunganya, mereka tak mau menurunkan sama sekali suku bunganya, padahal BI telah mengeluarkan kebijakan tersebut. Sikap inilah yang menjadi tanda tanya para pelaku bisnis.  
Namun apa boleh buat, ditengah krisisis likuiditas perbankan dan tingginya NPL (kredit macet) perbankan harus kompetitif dengan cara memberikan bunga yang tinggi bagi para nasabah. Jika tidak nasabah perbankan akan kabur dan perbankan akan mengalami kekurangan kecukupan modal untuk mengoperasikan perbankan. Dilema inilah yang dirasakan oleh bank-bank konvensional saat ini. Apalagi jika bunga bank tetap tinggi dunia usaha akan terus mengalami kesulitan  mengakses modal kerja dan dampaknya PHK serta krisis sosial. “Perjudian” itulah yang tak ingin oleh pemerintah. BI tetap menekankan pada perbankan konvensional untuk menurunkan bunganya segera mungkin.  
Lalu bagaimana dengan bank syariah dengan konsep nisbah, berpengaruh apa tidak? Sejak awal bank syariah ketar-ketir dengan naik turunya bunga bank pada tahun 2008 yang membuat bank syariah kalah bersaing dibandingkan dengan bank konvensional. Apalagi ekuivalen nisbah bank syariah juga tak kompetitif dibandingkan dengan bunga bank. Sehingga banyak bank syariah yang berorientasi pada nasabah  rasional lari ke bank konvensional.  
Tapi dengan perkembangannya  saat ini, ketika BI rate turun, nisbah bagi hasil bank syariah (profit-loss sharing) bakal mampu bersaing dengan bank konvensional. Nisbah bank syariah dari dana tabungan akan lebih tinggi daripada bunga bank yang diberikan pada nasabah di bank konvensional. Kesempatan inilah yang harus dikomunikasikan dengan baik oleh bank syariah  dan dikemas dalam strategi bisnis perbankan syariah. 
Dengan cara melakukan inovasi produk-produk perbankan syariah yang sesuai dengan kebutuhan pasar serta memberikan pelayanan (service) yang baik bagi para nasabah dengan pendekatan nilai-nilai syariah.  
Maka  ditengah BI rate turun  yang terjadi saat ini, bank syariah harus berani menjemput bola dengan cara  menawarkan jasa keuangan syariahnya, dan saatnya bank syariah bekerja keras. Bukan sebaliknya, saat BI rate turun—bank syariah tak mau melakukan perubahan diri dan tetap seperti biasa-biasa, bisa-bisa momentum ini bia hilang dan bank syariah selalu kalah dengan bank konvensional.   (Agus Y. www.pkesinteraktif.com)






KONSEP AQAD TRANSAKSI SYARIAH

Tuesday, 20 November 2007

A. HUBUNGAN USAHA MENURUT SYARIAH

Kegiatan usaha pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam, misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan akhirnya adalah kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya –yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan. Manusia mempunyai keterbatasan dalam berusaha, oleh karena itu –sesuai dengan fitrahnya- manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

• Kerjasama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui ikatan atau aqad Mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui aqad Musyaraka.

•Kerjasama dalam perdagangan, dimana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapat bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.

• Kerjasama dalam penyewaan aset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.

B. PRINSIP AQAD EKONOMI SYARIAH

Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:

1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.

3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).

Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.

Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan kedalam:

1. Obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya disebut real asset dan berbentuk barang atau jasa. 2. Obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa uang atau surat berharga. Aqad muamalah dalam bidang ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara prinsip dapat dibagi dalam:

1. Aqad pertukaran tetap, yang lazimnya adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, aqad ini umumnya memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi. 2. Aqad penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya adalah kegiatan investasi. Aqad ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya tidak dapat memberikan kepastian hasil. 3. Kegiatan penguasaan sementara, yang lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa. Aqad ini umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ayn dengan ayn, ayn dengan dayn dan dayn dengan dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan)maupun secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan). Transaksi keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan dengan ghairu naqdan)

Dalam menerapkan aqad-aqad ini pada transaksi keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 prinsip dalam perikatan secara Syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Tidak semua aqad bersifat mengikat kedua belah pihak (aqad lazim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak (aqad Jaiz). 2. Dalam melaksanakan aqad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk memegang kepercayaan secara penuh (amin) dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhamin). 3. Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al dayn. 4. Aqad yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wad) dengan tingkat kewajiban yang berupa sumpah (ahd).

C. AQAD MUDHARABA
Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta, dimana: • Pemilik Harta (Shahibul Maal atau Rab-al-Maal atau Malik) hanya menyediakan dana/modal/harta secara penuh (100%) dalam suatu aset atau kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh ikut secara aktif dalam pengelolaan usaha. • Pemilik Usaha bertindak sebagai Mudharib / Amil dimana Pemilik Usaha memberikan jasa (amal) mengelola harta secara penuh (100%) dan mandiri (discretionary) dalam bentuk aset atau dalam kegiatan usaha tertentu • Bila Pemilik Usaha harus mengelola usaha dengan tata cara dan ketentuan yang telah disepakati bersama maka disebut Mudharabah Muqayyadah. • Bila Pemilik Harta telah memiliki kepercayaan penuh pada Pemilik Usaha dan memberi kebebasan kepada Pemilik Usaha dalam menentukan jenis usaha dana tata cara mengelola usaha maka disebut Mudharaba Mutlaqah. • Pemilik Harta dan Pemilik Usaha mempunyai kesepakatan dalam cara penentuan hasil usaha dimana secara umum hasil usaha berupa laba akan dibagi menurut nisbah dan waktu bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama. • Disepakati bahwa Resiko Usaha berupa kerugian menjadi tanggung jawab Pemilik Harta, namun bila ternyata Mudharib tidak amanah, maka Mudharib dapat diminta tanggung jawab atas kerugian yang timbul. . Bila biaya variabel dari kegiatan usaha disepakati merupakan biaya yang sulit diduga, maka Mudharib dapat mengadakan aqad jaiz untuk menanggung semua biaya tak terduga tersebut atau menentukan batas maksimum biaya variabel yang dapat dibebankan. • Dalam hal biaya variabel yang sulit diduga tersebut merupakan bagian terbesar dari biaya, maka ketentuan bagi hasil akan mendekati praktek bagi pendapatan. • Berbeda dengan kondisi penyertaan modal yang berlaku umum di Indonesia, dalam aqad Mudharaba Pemilik Harta berhak sewaktu-waktu menarik hartanya, namun Mudharib diberi waktu untuk mencairkan harta dari usahanya

E. AQAD MUSYARAKA
Ikatan atau aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha, dimana: • Para pihak bersama-sama memberikan kontribusi baik berupa modal, harta, pinjaman harta, tenaga dan waktu, sehingga tidak ada suatu pihakpun yang akan menjadi Pemilik Harta secara penuh (100%) maupun menjadi Mudarib. • Para pihak setuju untuk berhubungan dalam suatu kerjasama usaha tertentu dan dalam jangka waktu yang disepakati dimana setiap pihak dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain. • Penyertaan atau kontribusi dapat diberikan secara tunai (seketika) atau tidak tunai (tangguh), serta dapat berupa barang (maal) atau jasa (amal) termasuk goodwill. • Penilaian atas penyertaan atau kontribusi yang diberikan oleh para pihak umumnya dilakukan dengan harga pasar, dalam hal ini uang lazim dipakai sebagai alat ukur nilai. • Pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan para pihak dimana umumnya merupakan fungsi dari jumlah kontribusi yang diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat. • Kerjasama usaha dapat berakhir apabila ada beberapa pihak meninggal atau mengundurkan diri.
F. AQAD PERDAGANGAN

Aqad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi. Karakteristik fasilitas perdagangan adalah sebagai berikut: o Para pihak mendapat manfaat dari transaksi jual-beli yang dilakukan berdasarkan mekanisme pasar. § Dalam hal fasilitas penundaan berupa penundaan pembayaran, maka bentuk, besar dan waktu pembayaran harus ditentukan secara pasti, sedangkan dalam hal fasilitas berupa penundaan penyerahan maka kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan dari obyek transaksi harus ditentukan secara pasti. § Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan pembayaran atas penyerahan barang atau jasa (obyek transaksi) yang dilakukan secara seketika dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan pembayaran (Murabaha). § Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (obyek transaksi) yang sudah dipastikan keberadaannya atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay Salam). § Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (obyek transaksi) yang akan diadakan menurut pesanan atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay Istishna’). § Hasil (manfaat) yang timbul dibagi bersama oleh pihak yang menerima manfaat kepada pihak yang memberikan fasilitas. § Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan pembayaran dapat berupa marjin (penambahan) atas harga transaksi secara tunai pada aqad Murabaha (asal kata ribhu, yang berarti keuntungan). § Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan penyerahan obyek transaksi dapat berupa marjin (penambahan) atas perkiraan harga jual obyek transaksi pada saat penyerahan. § Akibat penundaan pembayaran atau penyerahan obyek transaksi tersebut timbul kewajiban dengan nilai tertentu yang harus dipenuhi di masa mendatang. § Pembayaran atas harga obyek transaksi dapat disepakati dalam bentuk cicilan.

G. AQAD IJARA
Aqad Ijara, adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Ketentuan umum aqad Ijara adalah sebagai berikut:

• [Berbeda dengan leasing], disamping dapat berupa suatu barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan), obyek dapat pula berupa jasa (amal) yang diberikan oleh manusia atau binatang. • Obyek, Manfaat yang dipinjamkan dan Nilai Manfaat harus diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh para pihak. • Ruang lingkup pemakaian obyek dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik. • Atas pemakaian obyek, Pemakai Manfaat (Penyewa) harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan sewa/upah (akar kata Ijara berarti upah). • [Berbeda dengan leasing], secara umum cara pembayaran sewa ditentukan menurut kinerja dari obyek, namun dalam hal Pemakai Manfaat (Penyewa) yakin akan kinerja dari obyek maka pembayaran sewa dapat ditentukan menurut waktu pemakaian [sehingga mirip dengan leasing]. • Pemakai Manfaat (Penyewa) wajib menjaga obyek ijara agar manfaat yang dapat diberikan oleh obyek tersebut tetap terjaga. • Pemberi Sewa haruslah pemilik mutlak, agen dari pemilik mutlak, penjaga secara alami atau legal dari obyek. • Pemberi Sewa (Pemilik Obyek Ijara) dapat mengadakan aqad jaiz untuk menjual atau menghibahkan obyek ijara kepada Pemakai Manfaat (Penyewa) menurut ketentuan tertentu pada akhir dari masa sewa. • Dilarang mengadakan aqad Ijara dan aqad Jual-Beli secara sekaligus pada waktu yang sama karena akan menimbulkan keraguan akan keberlakuan aqad (gharar).






Rijal Amirudin - ....







Peraturan Pembiayaan Perbankan Syariah Diterbitkan

Monday, 10 November 2008

FoSSEI.com,JAKARTA -- Peraturan terkait restrukturisasi pembiayaan bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah untuk meminimalisasi risiko kerugian dan menjaga kualitas pembiayaannya telah diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).

Peraturan tersebut tertuang dalam PBI No.10/18/PBI/2008 yang ditandatangani Gubernur Bank Indonesia Boediono, demikian dikutip dari situs BI, Senin.

Dalam peraturan tersebut, BI menyatakan, restrukturisasi pembiayaan harus memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah.

Dalam aturan tersebut, BI melarang adanya restrukturisasi pembiayaan yang membuat penurunan penggolongan kualitas pembiayaan, pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar, atau penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara aktual.

Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah untuk pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet yang wajib didukung dengan analisa dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.

Restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan paling banyak tiga kali dalam jangka waktu akad pembiayaan awal. Restrukturisasi pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling cepat enam bulan setelah restrukturisasi pembiayaan sebelumnya. Pembiayaan yang direstrukturisasi lebih dari tiga kali digolongkan macet sampai dengan pembiayaan lunas.

BI mewajibakan perbankan syariah memiliki kebijakan dan "standard operating procedure" (SPO) tertulis mengenai restrukturisasi pembiayaan dan melaporkan restrukturisasi pembiayaan kepada BI.

Selain itu, BI juga menerbitkan dua aturan lainnya terkait dengan perbankan syariah. Pertama, Peraturan BI Nomor 10/17/PBI/2008 tentang produk bank syariah dan unit usaha syariah.

Peraturan tersebut untuk mengimbangi berkembangnya inovasi produk bank syariah dan UUS sehingga dapat meminimalisir risiko.

BI mewajibkan perbankan syariah untuk menyampaikan laporannya atas pengeluaran produk bank baru yang memenuhi kriteria tertentu yaitu memiliki karakteristik sebagaimana dimaksud dalam buku kodifikasi produk perbankan syariah, paling lambat 30 (tiga puluh hari) sebelum produk bank baru dikeluarkan.

Selain itu, bank wajib untuk memperoleh persetujuan BI dalam hal Produk Bank baru yang akan dikeluarkan tidak termasuk dalam Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah.

Sementara peraturan kedua, PBI No 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan PBI No.9/19/PBI/2007 mengenai pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah. (BY:Republika Contributor)














Syariah Tetap Untung

Rasio Pembiayaan Bermasalah Meningkat
Sabtu, 14 Maret 2009 | 03:39 WIB
Jakarta, Kompas - Meskipun kondisi perekonomian tengah melesu, perbankan syariah tetap mencatat kenaikan laba. Selain pembiayaan masih tumbuh, perbankan syariah juga bisa menjaga margin keuntungan karena tingkat imbal hasil dana dan pembiayaan relatif stabil.
Berdasarkan statistik perbankan syariah yang dirilis Bank Indonesia, perbankan syariah mencatat keuntungan operasional sebesar Rp 339 miliar per Januari 2009.
Adapun laba bersih pada periode sama tercatat Rp 83 miliar, tumbuh dibandingkan dengan Januari 2008 yang senilai Rp 76,78 miliar. Pencapaian perbankan syariah ini kontras dengan bank-bank konvensional yang justru mencatat kerugian operasional sebesar Rp 301 miliar pada periode yang sama.
Perbankan konvensional merugi, salah satunya karena tidak bisa menjaga margin bunga bersih. Perbankan konvensional terdesak memberikan bunga deposito yang tinggi agar nasabah tidak pindah ke bank lain.
Di sisi lain, bank konvensional tidak bisa serta-merta menaikkan bunga kredit karena akan menjadi bumerang, mengingat permintaan kredit akan turun dan meningkatnya kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL).
Perbankan konvensional juga merugi bila dananya ditaruh pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang kini bunganya sekitar 8,25 persen. Padahal, bunga deposito berjangka satu bulan bisa mencapai 11-12 persen per tahun.
Kepala BNI Syariah Ismi Kushartanto, Jumat (13/3) di Jakarta, menjelaskan, perbankan syariah tidak mungkin mengalami negatif spread seperti bank konvensional.
Hal itu terjadi karena perbankan syariah menggunakan sistem bagi hasil sehingga biaya dana (cost of fund) bergantung pada imbal hasil yang diperoleh dari pembiayaan, sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga yang diperjanjikan di depan, baik untuk dana maupun kredit. Sistem bunga memiliki kelemahan saat terjadi pengetatan likuiditas seperti saat ini, di mana bank konvensional cenderung mengalami negatif spread.
Dengan sistem bagi hasil pada bank syariah, imbal hasil untuk dana dan pembiayaan juga cenderung stabil. Imbal hasil deposito berjangka satu bulan bank syariah, misalnya stabil di kisaran 7-8 persen untuk jangka waktu bertahun-tahun.
Bandingkan dengan bunga deposito perbankan konvensional yang berfluktuasi amat lebar dalam satu tahun.
Pada awal 2008, bunga deposito bank konvensional rata-rata masih 7 persen, tetapi saat ini telah meroket ke level 12 persen per tahun.
Mengurangi risiko
Dalam situasi krisis, pelaku usaha juga cenderung memilih bertransaksi dengan sistem bagi hasil sebagai upaya mengurangi risiko. Ini membuat posisi pembiayaan perbankan syariah tetap meningkat dari Rp 38,1 triliun pada Desember 2008 menjadi Rp 38,2 triliun pada Januari 2009.
Pada periode yang sama, posisi kredit perbankan konvensional turun. Pengamat perbankan, Dradjad Wibowo, mengatakan, dalam situasi krisis, perbankan syariah memang memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan perbankan konvensional.
Mengingat motivasinya bukan semata keuntungan, nasabah tidak gampang berpindah ke bank lain meskipun imbal hasilnya lebih kecil ketimbang bunga bank konvensional. Rasio pembiayaan bermasalah perbankan syariah naik dari 3,95 persen pada Desember 2008 menjadi 4,39 persen pada Januari 2009. (FAJ)













Miskin Riset, Sejumlah Bank Syariah Hanya Jadi Pengekor
Ditulis oleh [ 01-11-2007 ]
Berita Nasional
User Rating: / 2
Dibaca: 862 kali

Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, sejumlah bank syariah di Indonesia dalam mengeluarkan produk-produknya belum didasarkan kepada riset pasar, sehingga produk-produk yang ditawarkan kepada masyarakat hanya mengekor saja kepada produk perbankan konvensional.

"Tidak banyak bank-bank syariah yang melakukan riset pasar, padahal hakikat bank syariah adalah antitesa dari bank-bank yang ada sebelumnya," kata Faisal Basri di sela Pameran Syariah Indonesia (ISE) II di Jakarta, Kamis.

Ia mencontohkan, ketika bank-bank konvensional meluncurkan kartu kredit, maka sejumlah bank syariah ikut-ikutan meluncurkan kartu kredit syariah.

Faisal mengajak bank-bank syariah mengubah pola pikir dalam mengeluarkan produk perbankan syariah dengan melakukan riset terlebih dahulu, sehingga produk yang dikeluarkan benar-benar merupakan produk yang dibutuhkan oleh rakyat di sekitarnya.

"Rencana Bank Syariah Mandiri (BSM) menjajaki penyaluran kredit untuk peternak sapi di Bali dan para petani di sana setelah dilakukan riset pasar adalah rencana yang mungkin cukup bagus," katanya.

Menurut Faisal, minimnya riset pasar bank-bank syariah mengakibatkan bank-bank syariah tidak dapat membaca peluang pengembangan usaha, akhirnya pangsa pasar perbankan syariah juga sulit meningkat.

Faisal juga menyatakan bahwa perkembangan perbankan syariah akan ditentukan sendiri oleh berbagai pihak di tanah air bukan oleh pihak yang berada di luar negeri.

"Selama ini kita banyak mengharapkan dana-dana dari Timur Tengah akan masuk ke Indonesia. Tapi, nyatanya tidak kunjung datang juga meski kita sudah mengirim utusan khusus beberapa tahun lalu. Investor Timteng masih lebih suka menaruh dananya di Amerika Serikat atau di Malaysia. Kita masih harus membangun kepercayaan mereka kepada kita," demikian Faisal Basri. (*)

Sumber : antara.co.id



Jumat, 26 Desember 2008 | 13:58 WIB
Perbankan Syariah untuk Semua
KINI saatnya menjadikan perbankan syariah untuk semua bagi konsumen yang menjadi target market. Menurut Bank Indonesia, pelaku perbankan syariah dapat membaca peta segmentasi baru konsumen perbankan syariah di Indonesia berdasarkan orientasi perbankan dan profil psikografisnya.
Pertama, konsumen perbankan syariah adalah mereka yang sangat mengutamakan penggunaan bank syariah. Kedua, mereka yang ikut-ikutan. Ketiga, mereka yang mengutamakan keuntungan, seperti kepraktisan transaksi dan kemudahan akses. Keempat, mereka yang menggunakan bank syariah sebagai sarana pembayaran gaji dan transaksi bisnis. Kelima, konsumen perbankan syariah adalah mereka yang mengutamakan penggunaan jasa bank konvensional yang telah ada.
Sementara itu, riset pasar menunjukkan nasabah perbankan syariah dan konvensional menunjukkan paradoks perilaku konsumen perbankan. Hal ini disebabkan oleh pengguna perbankan syariah di Indonesia cenderung berperilaku pragmatis. Bahkan, nasabah yang amat mengutamakan perbankan syariah ternyata juga adalah nasabah bank konvensional.
Yang menarik, nasabah perbankan di Indonesia umumnya sudah memahami keunggulan masing-masing perbankan. Kenyataannya, sampai kini perbankan konvensional unggul dalam jaringan yang luas dan memiliki fasilitas layanan yang andal dan luas ketimbang perbankan syariah.
Di sisi lain, perbankan syariah unggul karena karekteristik produk. Maka dari itu, para konsumen tersebut ingin menggunakan kedua jenis perbankan

Kamis, 25 Desember 2008 | 10:38 WIB
Lebih dari Sekadar Bank
PERBANKAN syariah yang mengemban misi menjadi terkemuka di ASEAN sejatinya memiliki pencitraan baru. Ada lima hal yang tampil menjadi sosok perbankan syariah di negeri ini.
Perbankan syariah dalam peranan interaksinya dengan nasabah hadir sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Perbankan syariah pun ditunjang berbagai keunikan, seperti konsep perbankan yang memiliki keanekaragaman produk dengan skema variatif dan dilakukan secara transparan agar adil bagi kedua belah pihak.
Jangan lupa, perbankan syariah memiliki tenaga perbankan yang kompeten dalam keuangan dan beretika. Pendukungnya adalah sistem teknologi informasi terkini yang memudahkan para penggunanya. Di perbankan syariah pun ada ahli investasi, keuangan, dan syariah.
Dengan kata lain, pencitraan seperti di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah "lebih dari sekadar bank". Ini berarti, ke depan, perbankan syariah hadir untuk semua kalangan yang menginginkan keuntungan kedua belah pihak berikut bermanfaat untuk semua.
Senin, 16 Maret 2009 | 15:23 WIB
Bulan Depan, Manulife Luncurkan Unit Syariah
JAKARTA, KOMPAS.com — PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia akan segera me-launching asuransi unit syariahnya pada bulan April  2009 ini. Ditargetkan, premi asuransi syariah mencapai Rp 25 miliar.

Hal tersebut disampaikan Wakil Presiden Direktur Manulife Indonesia Adi Purnomo seusai penandatanganan MOU dengan PTÂ BISMA di Gedung Sampoerna Strategic, Jakarta, Senin (16/3). "Kami targetkan premi asuransi syariah sampai Rp 25  miliar walapun jika dilihat memang tidak besar," kata Adi.

Adi mengatakan, saat ini proses pembentukan unit syariah tengah berlangsung. Pihaknya juga telah mengantongi izin dari Menteri Keuangan. "Saat ini kita sedang tunggu respons dari Bapepam-LK, bulan April ini bisa launching,"  ujarnya.

Adi menjelaskan bahwa produknya sudah siap dan bisnis asuransi syariah mempunyai potensi yang baik ke depannya. "Manulife sudah matang dalam prinsip syariah dan administrasi keuangan," tuturnya.

Senin, 06/04/2009
Kapitalisme tanpa keadilan sosial
Hak pekerja sering diabaikan pemilik modal
Pembangunan bagi suatu bangsa memiliki arti dan dimensi yang secara umum merupakan pengejawantahan dari keinginan dan kehendak untuk mengangkat martabat hidup masyarakat.

Pengejawantahan arti dan dimensi pembangunan ini tidak bisa dilepaskan dari perspektif bagaimana suatu bangsa menilai masalah pembangunan. Perspektif pembangunan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai fundamental dan norma etika yang dipegang oleh masyarakat suatu negara.

Pertanyaannya, adakah konsep yang luas apabila kita mengemukakan gagasan mengenai pembangunan sebagai sebuah elevator untuk membawa masyarakat dan sistem sosial kepada kehidupan yang lebih baik?

Berbagai langkah yang telah diambil oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyisakan pertanyaan tentang kemangkusan sistem kapitalisme-liberalisme dan mekanisme pasar yang dianggap dapat menyelesaikan segala masalah ekonomi.

Pernyataan optimistis dan cenderung arogan bahwa kapitalisme memperkuat terciptanya trickle down effect dan kesejahteraan kini tidak lagi dapat diterima. Faktanya, hampir 50% masyarakat dunia hidup dalam kemiskinan dan ketimpangan struktural dalam organisasi perusahaan kapitalis menegasikan kekuatan sistem ini.

Peran negara sangat diperlukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme pasar.

Memandang kapitalisme sebagai ide sistematis yang mampu menyelesaikan segala persoalan ekonomi dan tidak menghiraukan identifikasi atas gagasan dasar memunculkan bias persepsi secara umum.

Bias ini membuat sebagian besar ekonom memercayai kapitalisme sebagai satu-satunya cara menyelesaikan produksi dan distribusi ekonomi. Sebab kapitalisme sebagai ide dan gagasan sekaligus sebagai fakta sosial ekonomi ternyata memiliki kesenjangan (gap).

Ada beberapa hal mendasar yang membuat kita harus meragukan sistem kapitalisme dalam konteks historis. Kochan dan Katz mengelompokkan perkembangan ekonomi kapitalisme pada 1800-1890 sebagai periode hukum umum.

Pertentangan antara pekerja dan manajemen (majikan) melalui pemogokan dalam hubungan industrial (ketenagakerjaan) di AS adalah tradisi yang berasal dari produk hubungan ketenagakerjaan penuh krisis dan penuh gejolak emosional di Eropa.

Pemerintah melakukan stigmatisasi dengan menyatakan bahwa pemogokan merupakan tindakan menghambat ketertiban dan kesejehteraan umum (inimical to public welfare), konspirasi kriminal, subversif (criminal conspiracy) dan ilegal.

Ketimpangan hak-hak ekonomi ini menimbulkan perang saudara pada 1861-1865 antara negara bagian utara yang maju pembangunannya dan selatan yang terbelakang serta mengakibatkan krisis ekonomi dan sosial yang besar.

Konflik kembali terjadi pada 1890-1931 karena pengusaha anti dengan serikat pekerja dalam banyak bidang industri yang dipicu penandatanganan kontrak kerja, yang dikenal Yellow Dog Contract, berisi pernyataan untuk tidak bergabung dengan serikat pekerja.

Berbagai alternatif dalam pengembangan perusahaan a.l. dengan proses modernisasi teknologi industri mengurangi peran pekerja sehingga terjadi The Great Depression pada 1930.

Cara-cara yang ditempuh oleh pengusaha dan pemerintah dalam menyelesaikan masalah hubungan ketenagakerjaan ini tidak berjalan efektif. Krisis kembali terjadi pada 1960.

Kochan dan Katz menyatakannya sebagai periode ketiga adalah pendekatan hukum ketenagakerjaan untuk mengurangi efek dari pemogokan terhadap persoalan pengusaha dan industri.

Pada periode keempat dengan pendekatan ekonomi dan sosial dari 1960 hingga kini, krisis kembali terjadi secara sistematis di AS dan beberapa negara lain sehingga menegasikan pernyataan optimisme krisis tidak berulang.

Maka, jika negara menempatkan paradigma ekonominya secara bebas dalam pembangunan hanya akan menegaskan kembali tentang satu ciri mendasar dalam kapitalisme.

Ciri itu adalah terjadinya pengalihan surplus ekonomi kepada kaum pemilik modal secara terus-menerus. Surplus ekonomi itu kemudian diakumulasikan dan harus disalurkan kembali agar mendapat surplus berikutnya yang juga diupayakan agar terjadi secara berkesinambungan (sustainable).

Surplus ekonomi itu setidaknya didapat dari rente ekonomi berupa bunga dan sewa serta keuntungan usaha produksi.

Hak pekerja

Bagi yang berpandangan radikal, surplus itu sebenarnya mengandung bagian yang bukan hak kaum kapitalis, melainkan hak para pekerja.

Surplus ekonomi yang tidak dibagikan kepada pekerja/buruh dan berasal dari kerja sama produksi dengan pemilik modal pada awalnya tumbuh secara domestik, selanjutnya tumbuh bersifat internasional, baik dari sisi pasaran maupun pasokan barang atau bahan baku.

Semakin besar surplus ekonomi yang dijanjikan dalam pasar sehingga para kapitalis lebih banyak memperolehnya dari upaya yang tidak bersifat produktif secara langsung, tetapi melalui sektor keuangan.

Upaya ini diperkuat oleh berbagai institusi dan mekanisme perdagangan serta keuangan internasional, yang berorientasi pada pemungutan rente ekonomi (rent seeking) tanpa harus bersusah payah.

Hal inilah yang mendorong para pemilik kapital internasional untuk mengakumulasi modalnya di negara-negara berkembang dengan potensi sumber daya alam, tetapi miskin sumber daya manusia dengan investasi.

Sejarah VOC dan kolonialisasinya serta korporasi multinasional telah menjadi bukti terjadinya krisis global menjadi pelajaran berharga.

Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 80-an, adalah untuk lebih meminimalkan peran negara secara terang-terangan dalam konsep neoliberalisme.

Merekonstruksi perekonomian Indonesia dalam hal ini adalah menempatkan relasi pekerja dan pemilik modal pada kehendak konstitusi Pasal 33 Ayat 1 secara sistemik.

Artinya, posisi yang seimbang harus ditegakkan dalam hubungan antara pekerja dan pemilik kapital yang berkaitan dengan hak dasar, seperti upah yang layak, kesehatan dan keselamatan kerja serta pembagian surplus laba.

Koperasi lahir sebagai sintesis dari sistem kapitalisme dan komunisme yang cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi dan sosial orang seorang atau sekelompok orang saja.

Pasal 33 UUD 1945 tidak hanya merumuskan pembagian badan usaha pengelola sumber daya alam semata, tetapi sejauh mana kekayaan negara itu diperuntukkan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Pengalaman terjajah seharusnya menempatkan posisi intervensi pemerintah terhadap relasi pekerja dan manajemen dalam hal kebijakan pembagian surplus atau keuntungan yang lebih adil.

Partisipasi bersama para pihak demi kemajuan perusahaan tidak bisa dipandang hanya dari perspektif pemilik modal.

Hal itu hanya dapat dilakukan jika pemerintah tidak terlibat dalam konflik kepentingan dalam organisasi bisnis atau mengelola pemerintahan dengan cara berbisnis.

Oleh Defiyan Cori
Peneliti Bright Indonesia & Tim Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan Bappenas







Indonesia Jangan Hilangkan Kesempatan Majukan Ekonomi Syariah
Ditulis oleh [ 24-11-2008 ]
Berita Nasional
User Rating: / 1
Dibaca: 656 kali
Sebagai penduduk muslim terbesar, seharusnya Indonesia tidak kehilangan momentum untuk memajukan pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia. Singapura yang bukan negara Islam telah berani mencanangkan negaranya menjadi pusat perbankan syariah di regional Asia.
"Islam kan paling banyak di Indonesia, harusnya momentum ini yang ambil Indonesia bukan Singapura, "ujar Anggota DPR Komisi Keuangan Nursanita Nasution kepada Eramuslim, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu(30/1).
Menurutnya, dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), telah menyebutkan bahwa perbankan syariah akan dikembangkan, namun pada kenyataannya bank syariah itu sudah ada lebih dari sepuluh tahun di Indonesia belum mempunyai payung hukum yang melindunginya.
"Sekarang yang jadi urgennya adalah kita membuat payung hukum, jadi keberadaan bank syariah itu diterima masyarakat Indonesia. Karena mayoritas masyarakat kita muslim, dan perkembangannya juga positif, "jelasnya.
Lebih lanjut Nursanita menjelaskan, Ketika terjadi krisis ekonomi bank syariah cukup bertahan, karena itu negara-negara lain yang non muslim sudah mulai mengembangkan instrumen-instrumen syariah secara internasional.
Ia menambahkan, seperti diketahui Charter Bank dan Citi Bank sudah mulai mengembangkan unit syariah, sebab mereka menganggap secara bisnis ini menguntungkan. (novel)
 
Sumber : eramuslim.com




Kepustakaan

Fungsi & Peran DPS dalam Lembaga Keuangan Syariah
A. Persamaan Lembaga Keuangan Syari'ah Dengan Konvensional
· Teknis penerimaan uang.
· Mekanisme transfer.
· Teknologi komputer yang digunakan.
· Syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP. NPWP, proposal, dsb.
· dll.

B. Perbedaan Lembaga Keuangan Syari'ah Dengan Konvensional
· Aspek akad dan legalitas.
· Usaha yang dibiayai.
· Lingkungan kerja.
· Struktur organisasi.
· dll.

C. Aspek Akad & Legalitas

· Setiap akad dalam Lembaga Keuangan Syari'ah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti rukun dan syaratnya.

D. Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Terdapat saringan kehalalan, kemanfaatan dan kemaslahatan :

· Apakah objek pembiayaan halal atau haram ?
· Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat ?
· Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila ?
· Apakah proyek berkaitan dengan perjudian ?
· Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal ?
· Apakah proyek dapat merugikan syi'ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung ?

E. Lingkungan Kerja & Corporate Culture
Lingkungan kerja yang sejalan dengan syari'ah. Dalam hal etika, misalnya :

· Amanah
· Shiddiq
· Cerdas dan professional (fathonah)
· Mampu melaksanakan tugas secara team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). 

F. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Cara berpakaian dan bertingkah laku, misalnya :

· Rapi, sopan dan menutup aurat
· Lemah lembut
· Akhlaq yang baik menghadapi nasabah
· Membudayakan senyum (bagian dari shadaqah)
· Struktur Organisasi
· Keharusan adanya Dewan Pengawas SyariÂ’ah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional Lembaga Keuangan SyariÂ’ah dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariÂ’ah.

G. Fungsi dan Peran Dewan Pengawas SyariÂ’ah
· Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas SyariÂ’ah adalah mengawasi jalannya Lembaga Keuangan SyariÂ’ah sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariÂ’ah
· Dewan Pengawas SyariÂ’ah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa Lembaga Keuangan SyariÂ’ah yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariÂ’ah
· Fungsi dan Peran Dewan Pengawas SyariÂ’ah
· Tugas lain Dewan Pengawas SyariÂ’ah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari Lembaga Keuangan SyariÂ’ah yang diawasinya
· Dewan Pengawas Syariah bersama Komisaris dan Direksi, bertugas untuk terus-menerus mengawal dan menjaga penerapan nilai-nilai Islam dalam setiap aktifitas yang dikerjakan Lembaga Keuangan SyariÂ’ah
· Fungsi dan Peran Dewan Pengawas SyariÂ’ah
· DPS juga bertugas untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Lembaga Keuangan SyariÂ’ah, melalui media-media yang sudah berjalan dan berlaku di masyarakat, seperti khutbah, majelis taÂ’lim, pengajian-pengajian, maupun melalui dialog rutin dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat

H. Pengertian DPS
(Keputusan Dewan Pimpinan MUI tentang susunan pengurus DSN-MUI, No: Kep-98/MUI/III/2001)

· "DPS adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah tersebut."
· Dewan Pengawas Syariah diangkat dan diberhentikan di Lembaga Keuangan Syariah melalui RUPS setelah mendapat rekomendasi dari DSN


I. Fungsi DPS
(Keputusan Dewan Pimpinan MUI tentang susunan pengurus DSN-MUI, No: Kep-98/MUI/III/2001)

· Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
· Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
· Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalamsatu tahun anggaran.
· DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN

J. Struktur DPS
· DPS dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas Direksi.
· Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka DPS melakukan pengawasan kepada menejemen dalam kaitan dengan implementasi sistem dan produk-produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam.
· Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem pembinaan keislaman yangtelah diprogramkan setiap tahunnya.
· Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan tersebut.
· Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro Syariah.


Didin Hafidhuddin & Rikza Maulan Lc MA






Rabu, 31 Desember 2008 | 08:46 WIB
Pelayanan Baik Melalui Jaringan
TANTANGAN bagi perbankan syariah dalam peningkatan pelayanan adalah perluasan jaringan. Sementara itu, core benefit yang ditawarkan merupakan pelayanan yang dinilai lebih baik. 
Lalu, dilihat dari tingkat kepuasan terhadap pinjaman bank konvensional dan bank syariah, kualitas perbankan syariah dinilai oleh responden lebih baik hampir di semua aspek.
Kualitas layanan perbankan syariah yang ternyata tidak kalah dibandingkan perbankan akan terus diupayakan. Peningkatan kualitas layanan perbankan syariah diarahkan ke memperkecil gap ekspektasi dan layanan sebagai lembaga yang universal dan handal.
Agar kualitas layanan perbankan syariah bisa menjadi solid di masa depan, peningkatan kualitas layanan mesti dilakukan, baik di area yang terkait keunikan, maupun bersifat umum. Itu dengan mengadopsi konsep "service excellence" berdasarkan dimensi RATER (Reliability, Assurance, Tangible, Emphaty, Responsiveness).
Selanjutnya, perbankan syariah mesti memiliki program sosialisasi dan komunikasi terhadap para pemangku kepentingan yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung untuk pengembangan pasar untuk program sosialisasi paradigma baru pengembangan industri perbankan syariah Indonesia yang modern, terbuka, dan melayani seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Berbagai program sosialisasi dan komunikasi dalam rangka edukasi publik seluruhnya diarahkan agar sejalan dengan positioning bank syariah yang telah direkomendasikan oleh Grand Strategy, yaitu sebagai "lebih dari sekadar bank (beyond banking)“.








KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM
Oleh : Nabilah Akrom MA
Adalah fitrah manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara lahiriyah maupun batiniah. Hal ini mendorong manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan lahiriyah identik dengan terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) berupa sandang, pangan dan papan. Tapi manusia tidak berhenti sampai disitu, bahkan cenderung terus berkembang kebutuhan-kebutuhan lain yang ingin dipenuhi. Segala kebutuhan itu seolah-olah bisa terselesaikan dengan dikumpulkannya Harta sebanyak-banyaknya. Maka apa sebenarnya hakekat harta dan bagaimana pandangannya dalam Islam?
A. PENGERTIAN HARTA
Istilah HARTA, atau al-mal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang.
Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/ adat) yang berlaku di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungna status al-mal terletak pada nilai ekonomis (al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam harta tergantung pada besar ekcilnya anfaat suatu barng. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta.
B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HARTA
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
‘Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut :
1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) ataua mata pencaharian (Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
‘’Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah’’ (HR Ahmad).
‘’Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain’’(HR Thabrani)
‘’jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki’’ (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
C. KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Qur’an menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.
D. METODE MEMPEROLEH DAN MEMBELANJAKAN HARTA
Untuk memperoleh harta dapat ditempuh dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat dan menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara’(hukum ALLAH)
Di antara cara memperoleh harta dapat disebutkan yang terpenting:
a. Menguasai benda-benda mubah yang belum menjadi milik seorang pun.
b. Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah (pemberian/.hadiah), dan wasiat
c. Warisan sesuai dengan aturan Islam
d. Syuf’ah, hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota persekutuan yang lain.
e. Iqtha, pemberian dari pemerintah
f. Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi ‘amil, nafkah istri, anak, dan orang tua.
Cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja, perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya. Atau memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan dengan nilai keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa dikatakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, Islam mengharamkan bermegah-megah dan berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena sifat ini cenderung kepada penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis dari harta tersebut.
Untuk itulah pada satu takaran tertentu harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi pemenuhan hak masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi ekonomisnya.
Ringkasnya, aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya harta memiliki fungsi ekonomis yang harus senantiasa diberdayakan agar aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus berputar dan bergerak di kalangan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau investasi.sarana yang diterapkan oleh syari’at untuk merealisasikan prinsip ini adalah dengan larangan menumpuk harta, monopoli terutama pada kebutuhan pokok, larangan riba, berjudi, menipu.
2. Prinsip jauhi konflik. Artinya harta jangan sampai menjadi konflik antar sesama manusia. Untuk itu diperintahkan aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi, jaminan (rahn/gadai).
3. Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan dimaksudkan untuk meminimalisasi kesenjangan sosial yang ada akibat perbedaan kepemilikan harta secara individu. Terdapat dua metode untuk merealisasikan keadilan dalam harta yaitu perintah untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap penghamburan (Israf/mubazir).

PINJAM MEMINJAM ('ARIYAH)
Oleh : Hendro Wibowo ( Munas FoSSEI 2008 )
A. Pengertian dan Landasan 'Ariyah
1. Pengertian 'ariyah
Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata 'aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, 'aariyah berasal dari kata at ta'awur yang sama artinya dengan at tanaawul aw at tanaawub (saling tukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Menurut terminologi syara', ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
a. Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah, 'ariyah adalah pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti".
b. Menurut ulama Syafi'iyah dan Hambaliyah, 'ariyah adalah pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti."
Akad ini berbeda dengan hibah, karena 'ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengmbil zat benda tersebut.
2. Lndasan Syara'
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam yang didasarkan pada Al Qur'an dan As Sunnah.
a. Al Qur'an
"Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa." (QS. Al Maidah: 2)
b. As Sunnah Dalam hadits Bukhari Muslim dari Anas, dinytakan bahwa Rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
B. Rukun dan Syarat Ariyah
1. Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi'iyyah, dalam 'ariyah disyaratkan danya lafadzh shighat akad, yakni ucapan ijab daan qabul dari peminjam dan yang ameinjamkan barang pada wakgu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada aadanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
1. Mu'ir (peminjam)
2. Musta'ir (orang yang meminjamkan)
3. Mu;ar (barang yang dipinjam)
4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah bebarapa persyaratan sebagai berikut:
a. Mu'ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang.
b. Pemegangan barang oleh peminjam
c. Barang (musta'ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta'ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
C. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
1. Dasar Hukum Ariyah
Menurut urf, ariyah diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.
a. Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al Kurkhi, ulama Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
b. Secara Majaz
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.
Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
2. Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta'ar)
Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta'ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu'ir (orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki musta'ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu'ir meminjamkannya secara mutlak atau secara terikat (muqayyad).
a. Ariyah mutlak
Ariyah mutlak yaitu, pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya.
b. Ariyah muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, akan tetapi dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan dalam memanfaatkannya.
1. Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
2. Pembatasan waktu dan tempat
3. Pembatassan ukuran berat dan jenis
3. Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya.
Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, mu'ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Akan tetapi, pendapat yang paling unngul menurut Ad Dardir dalam kitab Syarah Al Kabir adalah mu'ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.
D. Ihwal ariyah, Apakah Tanggungan atau Amanat?
Ulama Hanafiyah beperndapat bahwa baarang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai atau tidak. Dengan demikian, ia tidak menanggung barang tersebut, jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa menyewa atau barang titipan, kecuali bila kerusakan tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikam, seperti hewan atau barang yang jelas dalam hal kerusakannya.
Yang benar menurut kalangan Syafi'iyyah, peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Namun demikian, ulama Hanabilah menyatakan jika barang yang dipinjam aadalah benda-benda wakaf, kemudian rusak tanpa disengaja, maka ia tidak harus menanggung kerusakannya, sebab tujuan peminjaman barang itu ditujukan untuk kemaslahatan umum.
1. Mu'ir mensyaratkan Peminjam Harus Bertanggung Jawab
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika mu'ir memberikan syarat adanya tanggungan kepada peminjam, syarat tersebut batal.
Menurut ulama Malikiyah, jika mu'ir mensyaratkan peminjam untuk bertanggung jawab sesuatu yang bukan pada tempatnya, peminjam tidak menanggungnya. Hanya saja ia harus memberikan bayaran atas pemakaian barang yang dipinjamnya sesuai dengan nilainya.
Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat, jika peminjam mensyaratkan ariyah sebagai amanat bukan tanggungan, tanggungan tidak gugur dan syarat batal.
2. Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan
Menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah kepada tanggungan karena di antara keduanya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang, yakni dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Menghilangkan barang
b. Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
c. Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyratan atau kebiasaan yang berlaku..
d. Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya
3. Biaya Pengembalian Barang
Biaya pengembalian barang itu ditanggung oleh peminjam sebab pengembalian barang merupakan kewajiban peminjam yang telah mengambil manfaatnya.


HAK PILIH (KHIYAR) DALAM PERJANJIAN USAHA MENURUT ISLAM
Maraji :
Disalin dari buku Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta.
oleh Abu Al Maira di/pada Juli 3, 2007.

 DEFINISI KHIYAR (HAK PILIH)
Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
MACAM-MACAM HAK PILIH
[1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)
Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Penjual dan pembeli memiliki kebebasan memilih selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.?
Arti beranjak di sini adalah luas, dikembalikan kepada kebiasaan.
[2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)
Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al Buyu'; bab: Penipuan yang dilarang dalam jualbeli, nomor 2117. Juga dalam kitab al Hiyal, nomor 4964. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al Buyu bab:orang yang tertipu dalam jual beli, nomor:1533]]
Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.
Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.
[3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)
Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).
Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat saat akad.
Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya.
[4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)
Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melakukan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksio-matik.
Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.
[5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha
Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk memilih dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian usaha yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut berhak memilihnya.
Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayoritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga ibarat menjual kucing dalam karung yang itu jelas meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak menyebabkan terjadinya pertikaian.
Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, membutuhkan tiga syarat:
1. Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.
2. Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan penjelasan harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara penjelasan harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menimbulkan perselisihan.
3. Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan agar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sahabat beliau lebih memilih semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.
Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara memilih objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya memiliki kesempatan memilih atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan mayoritas dalam madzhab ini mereka memilih pendapat terakhir ini.
CACAT DALAM PERJANJIAN USAHA
Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
PERTAMA : INTIMIDASI
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
3. Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.
Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifah membolehkannya.
KEDUA : KEKELIRUAN.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun.
Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.
2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.
KETIGA : GHUBN (PENYAMARAN HARGA BARANG)
Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga sesungguhnya barang tersebut.
Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.
Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.
Adapun dalam perjanjian-perjanjian usaha lain, masih diperselisihkan pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.
2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.
3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Wallahu A’lam.
Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini.

Jizyah
Posted on Kamis, 25 Oktober 2007 by erwan
Oleh: Muhammad Ali
 [Artikel ini diambil dari bab Jihad buku The Religion of Islam   yang telah diindonesiakan dengan judul Islamologi]
Menurut penjelasan ulama, kata jizyah berarti pajak yang dipungut dari rakyat non Muslim merdeka dalam negara Islam, yang dengan pajak itu mereka mengesahkan perjanjian yang menjamin mereka mendapat perlindungan, atau suatu pajak yang dibayar oleh pemilik tanah. Kata jizyah berasal dari kata jaza artinya membalas jasa atau mengganti kerugian terhadap suatu perkara, atau terhadap perbuatan yang telah dilakukan (LL). Dalam Qur’an Suci, kata jizyah hanya disebutkan satu kali dalam satu ayat yang berhubungan dengan pertempuran dengan kaum Ahli Kitab: “Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah … yaitu golongan orang yang telah diberi Kitab, sampai mereka membayar pajak (jizyah) sebagai pengakuan kedaulatan, dan mereka dalam keadaan takluk” (9:29). Dengan syarat membayar jizyah, Nabi Suci membuat perjanjian damai dengan kaum Majusi di Bahrain (Bu. 58:1), dengan Ukaidar, Pemimpin Kristen di Duma (AD. 19:29; IH), dengan pemerintah Kristen di Aila (IJ-H. III, hal. 146), dengan kaum Yahudi di Jarba’ dan Adruh (idem),[1] dan dengan kaum Kristen Najran (IS. T. I.ii, hal. 35). Tetapi dalam semua peristiwa tersebut, jizyah tidaklah dibayar oleh perorangan, melainkan oleh pemerintah mereka. Imam Bukhari mengawali kitabnya tentang jizyah dengan bab yang berjudul: “Jizyah dan perjanjian perdamaian dengan kaum ahlu-harb (kaum yang bertempur melawan kaum Muslimin)” (Bu. 58:1). Selanjutnya, Imam Bukhari dalam bab itu pula, menerangkan lebih jelas lagi: Dan yang berhubungan dengan perkara pemungutan jizyah dari kaum Yahudi, kaum Kristen, Majusi dan kaum non-Arab (al-‘ajm). Peraturan jizyah berlaku bagi semua golongan musuh, dan perilaku Nabi Suci sendiri menunjukkan, bahwa semua perjanjian perdamaian ditutup dengan persyaratan membayar jizyah, bukan saja dengan kaum Yahudi dan Kristen, melainkan pula dengan kaum Majusi. Nampak sekali dari sini bahwa kata ahlul-kitab yang digunakan dalam 9:29 yang dikutip di atas, harus diartikan lebih luas lagi, yakni mencakup semua penganut agama lain. Tetapi pada zaman Khalifah ‘Umar, jizyah yang pada mulanya dibayar oleh pemerintah, lalu diubah menjadi pajak perorangan. Kata jizyah diterapkan pula terhadap pajak bumi yang dipungut dari kaum Muslimin yang memiliki tanah pertanian. Tetapi ulama ahli fiqih membuat perbedaan antara pajak perorangan dan pajak bumi, dengan memberi nama kharaj bagi pajak bumi. Dua macam pajak ini merupakan sumber pendapatan utama bagi negara Islam. Adapun sumber lain ialah zakat yang dipungut dari kaum Muslimin sendiri.  
Jizyah bukanlah pajak agama 
Pada umumnya para penulis Eropa tentang Islam berpendapat, bahwa Qur’an hanya menawarkan salah satu di antara dua pilihan kepada kaum non-Muslim, yaitu masuk Islam ataukah dipenggal lehernya, tetapi kepada kaum Yahudi dan Kristen, Qur’an memberi kesempatan agak lebih baik, mereka tetap dibiarkan hidup asal mereka membayar jizyah. Pengertian jizyah semacam pajak agama, yang jika ini dibayar, kaum non-Muslim berhak mendapat jaminan hidup dari negara Islam, ini bertentangan sekali dengan ajaran pokok agama Islam, seakan-akan ini satu mitos bahwa kaum Muslimin diharuskan memerangi golongan non-Muslim, sampai mereka memeluk Islam. Sebelum Islam pajak telah dipungut dan hingga sekarang pun pajak itu tetap dipungut, baik oleh negara Islam maupun oleh negara non-Islam, yang semua itu tak ada sangkut-pautnya dengan agama yang mereka anut. Negara Islam banyak memerlukan keuangan seperti halnya negara non-Islam guna memelihara kesejahteraaan negara, dan untuk mencapai itu, negara Islam menempuh cara-cara yang dikerjakan oleh negara-negara non-Islam. Apa yang terjadi pada zaman Nabi Suci ialah, bahwa beberapa negara kecil non-Islam, apabila mereka ditaklukkan, mereka diberi hak untuk mengatur urusan mereka sendiri. Mereka hanya diminta supaya membayar pajak yang tak seberapa besarnya guna memelihara pemerintah pusat di Madinah. Alangkah besar murah hati Nabi Suci atas pemberian otonomi penuh kepada negara yang baru saja dikalahkan, sehingga dalam keadaan demikian, pembayaran pajak (jizyah) yang tak seberapa jumlahnya itu bukanlah suatu beban, melainkan sekedar hadiah belaka. Tak ada tentara pendudukan di negara yang baru di-kalahkan itu, dan tak pula mengadakan campurtangan dalam mengatur negara, baik undang-undangnya, adat-istiadat mapun agamanya. Dan dengan membayar pajak itu, pemerintah Islam bertanggung-jawab untuk melindungi negara-negara kecil terhadap serangan musuh. Seandainya negara-negara beradab seperti sekarang ini mengikuti teladan Nabi Muhammad saw, niscaya lebih dari separoh bangsa-bangsa di dunia ini akan bebas dari penjajahan asing. Walaupun kaum Muslimin sesudah zaman Nabi Suci memandang perlu untuk mengatur pemerintahan di daerah yang mereka taklukkan, dan agar rakyat dapat menikmati jaminan perlindungan secara keseluruhan, dan keuntungan-keuntungan yang didapat dari pemerin-tah, rakyat diharuskan membayar pajak yang cukup lunak, yang disebut jizyah. Boleh saja dikatakan bahwa negara Islam membuat perbedaan antara golongan Muslim dan non-Muslim, tetapi justru sifat jizyah itulah yang memberi corak keagamaan. Memang nampaknya ada diskriminasi, tetapi ini tidak menguntungkan Muslim, tapi justru menguntungkan golongan non-Muslim. Kaum Muslimin diwajibkan memasuki dinas militer, dan harus bertempur mempertahankan negara, baik di negeri sendiri maupun di luar; selain itu, golongan Muslim diwajibkan membayar pajak lebih tinggi daripada pajak yang harus dibayar oleh golongan non-Muslim, seperti yang akan kami terangkan di bawah ini. Golongan non-Muslim dibebaskan dari wajib militer karena mereka telah membayar jizyah. Jizyah sebanyak setengah dinar setahun, ini terlalu sedikit sebagai imbalan dibebas-kannya mereka dari wajib militer. Kaum Muslimin, selain diwajib-kan memasuki wajib militer, mereka pun diwajibkan pula membayar zakat, yang ini jauh lebih berat daripada jizyah, sedang golongan non-Muslim hanya diwajibkan membayar jizyah yang tak seberapa besarnya, sebagai imbalan untuk menikmati keuntungan yang didapat dari pemerintah.Nama ahlud-dhimmah, makna aslinya orang-orang yang dilin-dungi yang diberikan kepada rakyat non-Muslim, yang berdomisili di negara Islam, atau yang diberikan kepada negara non-Islam yang dilindungi oleh pemerintah Islam, menunjukkan bahwa jizyah itu dibayar sebagai imbalan jaminan perlindungan. Dengan kata lain, jizyah ialah uang iuran dari golongan non-Muslim untuk kepentingan militer di negara Islam. Pada dewasa ini tak ada satu pemerintah pun yang tak membebani rakyatnya untuk membiayai tentara. Ada satu riwayat yang menerangkan bahwa suatu pemerintah Islam pernah mengembalikan uang jizyah kepada rakyat yang harus dilindunginya, karena pemerintah tak dapat memberi perlindungan lagi kepada mereka. Pada waktu tentara Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah terlihat dalam suatu pertempuran dengan Kerajaan Romawi, mereka terpaksa mengundurkan diri ke Hims, yang mereka taklukkan sebelumnya. Tatkala mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan Hims, Abu Ubaidah memanggil kepala daerah itu, dan mengembali-kan semua uang yang telah beliau terima sebagai jizyah, sambil berkata, karena kaum Muslimin tak dapat memberi perlindungan lagi, maka mereka tak berhak menerima jizyah.Selanjutnya nampak sekali bahwa bebas wajib mliter itu hanya diberikan kepada golongan non-Muslim, sebagaimana ini dikehendakinya, karena jika golongan non-Muslim diharuskan bertempur untuk membela negara, mereka harus dibebaskan dari jizyah. Misalnya, kaum Bani Taghlib dan orang-orang Najran, dua-duanya dari golongan Kristen, mereka tak membayar jizyah (En. Is.). Memang kaum Bani Taghlib ikut bertempur bersama pasukan Islam di medan tempur Buwaib pada tahun 13 Hijriah. Kemudian pada tahun 17 Hijriah mereka menulis surat kepada Khalifah ‘Umar agar diperbolehkan membayar zakat sebagai ganti jizyah, yang pada waktu itu lebih berat daripada jizyah. Dalam buku Caliphate, tuan Muir menulis: “Atas kemurahan ‘Omar, usul mereka disetujui; dan kaum Bani Taghlib menikmati hak istimewa yang dalam penilaian Kristen tak seberapa, sungguh imbalan yang tak seberapa itu amat memalukan” (hal. 142). Pada zaman Khalifah ‘Umar disetujui pula wajib militer bagi Jurjan, sebagai pengganti jizyah. Syahbaraz, kepala daerah Armenia, juga mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum Muslimin dengan syarat seperti itu.  
Insiden jizyah
 Menilik cara-cara dipungutnya uang jizyah menunjukkan bahwa jizyah adalah pajak pembebasan dari wajib militer. Golongan berikut ini dibebaskan dari pembayaran jizyah, yaitu (1) kaum perempuan, (2) anak laki-laki yang belum dewasa, (3) orang lanjut usia, (4) orang cacat karena suatu penyakit (zamin), (5) orang lumpuh, (6) orang buta (7) orang melarat (faqir) yang tak mampu berusaha (ghairai-mu’tamil) (8) budak belian, (9) budak belian yang bekerja untuk memerdekakan sendiri (mudbir), dan (10) para rahib (H.I. hal, 571-572). Selain itu, “pada abad pertama … banyak sekali orang yang dibebaskan dari pajak, kendati kami tak tahu sebab-sebabnya” (En. Is.). Sebagaimana telah kami terangkan di muka, kaum non-Muslim yang setuju untuk memasuki dinas militer, di-bebaskan dari jizyah; dua fakta itu, yaitu golongan non-Muslim yang tak mampu menjalani dinas militer, dan yang berbadan sehat yang setuju untuk memasuki dinas militer, jika diambil secara keseluruhan, sampailah kita kepada kesimpulan, bahwa jizyah adalah pajak yang dibayar oleh kaum Dhimmi yang mampu berperang, sebagai imbalan atas dibebaskannya mereka dari wajib militer. Jika kita tinjau, untuk apa uang jizyah boleh digunakan? Sampailah kita kepada kesimpulan yang sama, bahwa uang jizyah digunakan untuk memperkuat garis depan, atau untuk membuat ben-teng di garis depan (saddut-thaghur), atau untuk membuat jembatan, atau untuk membayar qadli (hakim) dan Gubernur, dan untuk meme-lihara pasukan dan anak-anak mereka (H.I. hal. 576). Kendati yang dibebaskan dari jizyah begitu banyak, namun tarif jizyah amatlah rendah, yaitu hanya satu dinar per orang setahun. Nilai satu dinar[2] kira-kira sama dengan sepuluh Rupis (uang India penj.) atau empatpuluh dirham setahun, atau empat dirham sebulan. Berikutnya ialah orang yang membayar dua dinar setahun, atau dua dirham sebulan. Tarip yang paling rendah ialah satu dinar setahun, yang mula-mula ditetapkan bagi semua orang. Tarip tersebut adalah menurut mazhab Hanafi. Adapun madzhab Syafi’i tetap pada tarip semula, yaitu satu dinar seorang setahun tanpa kecuali (H). Tiga golongan pembayar jizyah tersebut diterangkan: (1) Orang kaya (Zhahirul-ghina), artinya, orang yang benar-benar kaya, yang memiliki kekayaan yang melimpah, sehingga ia tak perlu bekerja untuk mencari nafkah; (2) orang yang kecukupan, yang me-miliki kekayaan, tetapi harus masih bekerja untuk mencari nafkah; (3) orang miskin yang tak memiliki kekayaan, tetapi berpenghasilan lebih dari cukup untuk kebutuhannya sendiri. Sudah jelas bahwa kaum Muslim harus membayar pajak yang lebih berat, karena di samping harus membayar zakat sebanyak duasetengah persen, mereka dikenakan pula wajib militer. Sebaliknya, jizyah hanyalah dipungut dengan cara yang amat simpatik. Pada suatu hari Sayyidina ‘Umar melihat seorang kafir dhimmi meminta-minta, dan pada waktu ditanya, ia menjawab bahwa ia mengerjakan itu untuk dapat membayar jizyah. Lalu oleh sayyidina ‘Umar, ia bukan hanya dibebaskan dari jizyah, melainkan pula ia diberi uang tunjangan yang diambil dari kas negara. Di samping itu, sayyidina ‘Umar memerintahkan agar semua kafir dhimmi yang keadaannya seperti dia, harus diberi uang tunjangan. 
Islam, jizyah, ataukah pedang 
Mitos tentang perang yang dilakukan oleh Khalifah permulaan dapat dihilangkan sehubungan dengan pembahasan masalah jizyah tersebut. Pada umumnya orang mengira, bahwa kaum Muslimin bergerak ke luar untuk menyiarkan agama dengan pedang, dan balatentara Islam menyerbu ke semua daerah dengan semboyan: Islam, jizyah, ataukah pedang. Sudah tentu ini gambaran yang diputarbalikkan dari kejadian yang sebenarnya. Jika kaum Muslimin benar-benar keluar dengan semboyan tersebut di atas, dan menghayati semboyan itu, mengapa banyak kaum non Muslim yang bertempur dalam barisan Islam dan tak membayar jizyah, bahkan mereka tinggal di tengah-tengah masyarakat Islam, bahkan ikut bertempur bersama mereka. Ini adalah bukti yang tak dapat disangkal lagi bahwa teori tentang kaum Muslimin menawarkan pilihan apakah Islam, jizyah ataukah pedang, adalah teori yang sudah usang. Adapun yang benar ialah oleh karena kaum Muslimin melihat Kerajaan Romawi dan Persi berniat untuk menaklukkan tanah Arab dan ingin menghancurkan Islam, kaum Muslimin menolak syarat-syarat perdamaian apabila di dalamnya tak disebutkan suatu syarat bahwa mereka tak akan mengulangi serangan; dan syarat yang dituntut oleh kaum Muslimin adalah jizyah, yang ini merupakan pengakuan kalah di pihak mereka.
Tak ada pertempuran yang pernah dilancarkan oleh kaum Muslimin dengan memakai syarat itu kepada tetangga yang suka damai; sejarah membuktikan kebenaran itu. Tetapi apabila pertempuran sudah berkobar yang disebabkan serangan pihak musuh, yang dibuktikan dengan serbuan mereka ke wilayah Islam atau mereka membantu musuh Islam, maka wajarlah apabila kaum Muslimin tak mengakhiri pertempuran sebelum kemenangan tercapai. Kaum Muslimin mendambakan agar pertumpahan darah tak terulang lagi setelah musuh dikalahkan, hanya jika mereka mau mengaku kekalahan mereka dan mau membayar jizyah, sekedar persembahan bukan ganti rugi perang yang amat menggencet sebagaimana terjadi pada zaman sekarang ini. Jadi, tawaran untuk mengakhiri permusuhan dengan syarat membayar jizyah adalah perbuatan kasih sayang terhadap musuh yang ditaklukkan. Tetapi jika tawaran membayar jizyah ditolak oleh negara yang kalah, maka kaum Muslimin tak mempunyai pilihan lain selain menggunakan pedang, sampai musuh ditaklukkan secara tuntas. Kini tinggallah suatu pertanyaan, apakah tentara Islam pernah menyerukan agar para musuh memeluk Islam? Dan apakah ini suatu pelanggaran jika tentara Islam berbuat demikian? Sudah dari sejak awal, Islam adalah agama yang harus disiarkan, dan setiap orang Islam menganggap itu suatu hak mutlak untuk berdakwah kepada orang lain supaya memeluk Islam. Para muballigh Islam ke mana pun mereka pergi, memandang itu suatu kewajiban nomor satu untuk menyiarkan Islam, karena mereka merasa bahwa Islam memberi hidup baru dan memberi keteguhan batin kepada manusia, dan Islam memecahkan masalah yang pelik dan rumit yang terdapat pada setiap bangsa. Memang benar bahwa Islam ditawarkan pula kepada musuh yang sedang bertempur, tetapi tak benar jika dikatakan bahwa Islam disiarkan dengan pedang, mengingat tak ada satu contoh pun dalam sejarah, bahwa Islam dipaksakan kepada para tawanan perang; demikian pula tak pernah terjadi bahwa kaum Muslimin menyampaikan pesan kepada negara tetangga yang suka damai bahwa mereka akan diserbu jika mereka tak mau memeluk Islam.
Pedoman petunjuk tentang perang 
Pedoman petunjuk yang diberikan oleh Nabi Suci kepada pasukan beliau menunjukkan bahwa pertempuran beliau bukanlah ditujukan untuk memaksakan Islam. Ada satu Hadits yang berbunyi: “Abdullah bin ‘Umar meriwayatkan, bahwa dalam suatu pertem-puran yang dilakukan oleh Nabi Suci terdapat seorang perempuan di antara mereka yang menjadi korban. Atas kejadian itu, Nabi Suci melarang membunuh perempuan dan anak kecil” (Bu. 56:174-178). Hadits yang melarang membunuh perempuan dan anak kecil diulang berkali-kali dalam Kitab Hadits (AD. 15:112;Tr. 19:19; Ah. I, hal. 256; Ah. II, hal. 22-23; Ah. III, hal. 488; M. 32:6). Nah, seandainya perang yang dilakukan oleh kaum Muslimin ditujukan untuk memaksakan Islam kepada para musuh, mengapa perempuan dan anak-anak harus dikecualikan? Sudah tentu akan lebih mudah untuk memasukkan mereka dalam Islam jika mereka ditakut-takuti dengan pedang, karena perempuan dan anak-anak tak mampu mengadakan perlawanan, tidak seperti laki-laki yang biasa bertempur. Kenyataan adanya larangan untuk membunuh sejumlah duapertiga penduduk yang terdiri dari perempuan dan anak-anak, membuktikan bahwa perang kaum Muslimin bukanlah ditujukan untuk memaksakan Islam. Dalam beberapa Hadits, selain perempuan dan anak-anak, ditambah pula ‘asif (orang yang dipekerjakan pada tentara), untuk menunjukkan bahwa selain perempuan dan anak-anak, kaum Muslimin dilarang pula membunuh orang yang direkrut oleh tentara sebagai ‘pekerja’ (Ah. III, hal. 488; Ah. IV, hal. 178; AD. 15:112). Ada Hadits lagi yang menerangkan bahwa kaum Muslimin dilarang membunuh syaikh fani (orang lanjut usia) yang tak mampu berperang (MM. 18:5-ii). Para rahib tak boleh disakiti (Ah. I, hal. 300). Hanya dalam suatu pertempuran malam saja Nabi Suci memaafkan terbunuhnya perempuan dan anak-anak secara tidak disengaja, karena “mereka berkumpul dengan kaum laki-laki” (Bu. 56:146). Adapun yang dimaksud oleh Nabi Suci ialah, kemungkinan terjadinya pembunuhan sukar sekali disingkiri, karena pada malam yang gelap, sukar sekali membedakan antara laki-laki dan perempuan sebagai prajurit dengan perempuan dan anak-anak. Guna melengkapi contoh tersebut di atas, berikut ini kami kutip satu contoh dari buku Spirit of Islam, karya Sayyid ‘Amir ‘Ali. Pada waktu Nabi Suci memberangkatkan pasukan untuk menghadapi tentara Romawi, beliau memberi instruksi: “Dalam membalas serangan yang dilancarkan terhadap kita, janganlah kamu menganiaya para penghuni harem yang tak berdosa; selamatkanlah kaum perempuan; jangan melukai anak yang masih menetek dan orang yang sedang sakit. Jangan merobohkan tempat kediaman penduduk yang tak mengadakan perlawanan; jangan memusnahkan bahan makanan mereka dan pohon buah-buahan mereka; dan jangan pula merusak pohon kurma” (hal. 81). Kepada komandan pasukan di Syria, sayyidina Abu Bakar memberi instruksi: “Apabila kamu berhadapan dengan musuh, bertempurlah dengan jantan, dan jangan sekali-kali mundur. Dan jika kamu memperoleh kemenangan, janganlah kamu membunuh anak-anak, orang lanjut usia, dan kaum perempuan. Jangan memusnahkan pohon kurma, dan jangan pula membakar ladang gandum, jangan menebang pohon buah-buahan, dan jangan pula membinasakan ternak, terkecuali beberapa ekor yang kamu sembelih untuk bahan makanan kamu. Jika kamu membuat perjanjian atau pengumuman, tepatilah itu, dan jadilah teladan yang baik seperti yang kamu ucapkan. Dalam perjalanan, kamu akan menjumpai beberapa orang yang tekun menjalankan agama yang hidup menyendiri dalam biara, yang membulatkan tekad untuk me-ngabdi kepada Allah secara itu. Biarkanlah mereka itu, dan janganlah kamu membunuh mereka dan menghancurkan biara mereka” (hal. 81).  
Tawanan Perang 
Perlakuan terhadap tawanan perang seperti yang digariskan oleh Qur’an dan Hadits, membuktikan pula suatu kenyataan, bahwa paham menyiarkan Islam dengan pedang tidaklah dikenal samasekali oleh arti perang secara Islam. Apabila pertempuran yang dilakukan oleh Nabi Suci dan para Khalifah permulaan itu dimaksud untuk menyiarkan Islam dengan kekuatan senjata, niscaya maksud itu akan mudah tercapai dengan memaksakan Islam kepada para tawanan perang yang berada dalam kekuasaan kaum Muslimin. Namun ini tak diizinkan oleh Qur’an suci yang menggariskan seterang-terangnya agar mereka dibebaskan. Qur’an berfirman: “Maka apabila kamu berhadapan dengan kaum kafir dalam pertempuran, penggallah leher mereka; lalu jika kamu mengalahkan mereka, jadikanlah mereka tawanan perang, lalu sesudah itu bebaskanlah mereka sebagai anugerah atau dengan uang tebusan, sampai pertempuran meletakkan senjata” (47:4). Dari ayat tersebut terang sekali, bahwa izin menawan tahanan hanya diberikan selama masih berkecamuk pertempuran. Sekalipun izin diberikan, namun tawanan perang tidak selamanya dijadikan budak, melainkan harus dimerdekakan sebagai anugerah, atau dengan membayar uang tebusan. Nabi Suci melaksanakan perintah itu pada waktu beliau masih hidup.[3] Pada waktu perang Hunain, 6000 tawanan perang dari kabilah Hawazin dimerdekakan semua sebagai karunia Nabi Suci (Bu. 40:7; IJ-H. III, hal. 132). Seratus keluarga dari Bani Mustaliq ditawan dalam pertempuran Muraisi, dan mereka semua dibebaskan tanpa membayar uang tebusan (IJ-H. III, hal 66). Dalam perang Badar telah ditawan sejumlah 70 orang, dan hanya dalam peristiwa ini sajalah mereka dituntut uang tebusan, tetapi mereka terus dimerdekakan sekalipun pertempuran dengan kaum Quraisy masih akan terus berkobar (Ad. 15:122;Ah. I, hal. 30). Adapun tebusan yang diterima dari sebagian tawanan perang Badar ialah, mereka disuruh bekerja sebagai guru untuk memberi pelajaran membaca dan menulis (Ah. I, hal. 247; Z.I. hal. 534). Jika tak ada lagi pertempuran, dan keadaan telah damai kembali, maka semua tawanan harus dibebaskan.  
Perbudakan dihapus 
Selain itu, ayat 47:4 juga menghapus perbudakan. Biasanya perbudakan itu terjadi karena adanya serbuan dari kabilah kuat terhadap kabilah lemah. Islam tak memperbolehkan serbuan itu, atau menawan orang dengan jalan serbuan. Menahan orang hanya dapat dilakukan pada waktu terjadi pertempuran biasa; sekalipun demikian tawanan itu tak boleh ditawan selama-lamanya. Setelah pertempuran selesai, orang diwajibkan membebaskan tawanan, baik sebagai karu-nia maupun dengan tebusan. Jadi menawan orang itu hanya boleh dilakukan selama masih berkobar keadaan perang. Setelah perang selesai, tak boleh lagi ada tawanan.Nama yang diterapkan terhadap tawanan perang ialah ma malakat aimanukum, makna aslinya apa yang dimiliki oleh tangan kanan kamu. Apa yang dimiliki oleh tangan kanan, artinya apa yang diperoleh oleh penguasa yang menang; tawanan perang dinamakan demikian, karena mereka dijadikan rakyat taklukkan oleh penguasa yang menang dalam pertempuran. Mereka juga dinamakan ‘abd (budak), karena mereka kehilangan kemerdekaan. Perbudakan boleh dikatakan telah dihapus oleh peradaban, tetapi ini hanya teorinya saja, karena sampai sekarang perbudakan itu tetap ada, karena bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan diperintah oleh bangsa itu sebenarnya juga perbudakan. Dalam Islam, perlakuan terhadap tawanan perang atau budak belian itu tak ada taranya. Tidak ada bangsa atau masyarakat lain yang dapat memperlihatkan perlakuan seperti yang dilakukan oleh Islam terhadap budak belian, bahkan pula terhadap anggota masyarakat sendiri apabila yang satu menduduki kedudukan sebagai majikan, sedang yang lain sebagai pelayan. Memang benar bahwa budak belian atau tawanan perang diharuskan mengerjakan suatu pekerjaan, tetapi syarat-syarat kerja yang harus ia lakukan janganlah menimbulkan rasa hina pada diri mereka. Dengan kata-kata yang terang, Nabi Suci menggariskan aturan yang indah untuk memperlakukan mereka sebagai saudara. Dalam satu Hadits diuraikan: “Ma’rur berkata: Aku berjumpa dengan Abu Dhar, di Rabdlah, dan ia memakai pakaian, dan budaknya memakai pakaian yang sama. Aku bertanya kepadanya tentang ini, ia menjawab: Pada suatu hari aku memaki-maki dia dan mengecamnya karena ibunya (yakni menyebut dia sebagai anak Negro perempuan). Nabi Suci bersabda kepadaku: Wahai Abu Dhar, engkau memaki-maki dia karena ibu-nya. Sungguh engkau masih jahiliyah. Budakmu itu saudaramu juga; Allah menempatkannya dalam kekuasaanmu. Maka barangsiapa saudaranya berada dalam kekuasaannya, hendaklah ia memberi makan kepadanya seperti  yang ia makan sendiri,dan memberi pakaian kepadanya seperi yang ia pakai sendiri, dan jangan sekali-kali memberi pekerjaan kepadanya yang ia tak mampu melakukannya, dan jika engkau memberi pekerjaan kepadanya bantulah ia mengerjakan pekerjaannya” (Bu. 2:22). Para tawanan perang dibagi-bagi kepada masing-masing keluarga, karena pada waktu itu pemerintah Islam tak mempunyai biaya untuk merawat mereka, namun demikian, mereka diperlakukan penuh hormat. Seorang tawanan perang mengatakan bahwa ia diserahkan kepada seorang keluarga yang keluarga itu memberi roti kepadanya, sedang mereka sendiri hanya makan kurma (IJ-H. I, hal. 287). Oleh karena itu, tawanan perang bukan saja harus dimerdekakan, melainkan selama mereka ditawan, mereka diperlakukan dengan penuh hormat. 
Perang harus dilakukan secara jujur 
Dari uraian tersebut di atas, mengenai perkara perang dan damai, terang sekali bahwa Islam mengakui adanya perang sebagai pergolakan antar bangsa – suatu perjuangan yang amat mengerikan – yang kadang-kadang diperlukan karena kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Jika pergolakan itu terjadi, suatu bangsa dibebani tanggung-jawab dalam perkara itu secara terhormat, dan harus bertempur habis-habisan. Islam tak mengizinkan kepada umatnya untuk memancing-mancing pertempuran, dan tak mengizinkan pula mendahului menyerang, tetapi apabila pertempuran dilancarkan terhadap Islam, Islam menyuruh umatnya supaya mengerahkan segala kekuatan untuk membela diri, Tetapi apabila musuh minta damai setelah pertempuran berkobar, kaum Muslimin tidak boleh menolak, sekalipun kejujuran musuh amat diragukan. Tetapi selama pertempuran masih berkobar, itu harus dituntaskan hingga selesai. Oleh Qur’an Suci kaum Muslimin diperintahkan untuk berlaku jujur dalam bertempur sekalipun terhadap musuh. Qur’an berfirman: “Dan janganlah kebencian mereka – karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid Suci – menyebabkan kamu melanggar; dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan kebaktian, dan janganlah kamu saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (5:2). “Dan janganlah kebencian orang-orang mendorong kamu untuk berlaku tak adil. Berlaku adillah kamu; ini lebih dekat kepada taqwa” (5:8). Ayat tersebut tercantum dalam Surat yang diturunkan menjelang wafatnya Nabi Suci. Hadits juga memerintahkan supaya berlaku jujur dalam pertempuran. “Bertempurlah, dan janganlah kamu memotong-motong tubuh, dan jangan pula membunuh anak-anak” (M. 32:2). Itu adalah sebagian dari peraturan yang membersihkan petempuran dari unsur-unsur kebiadaban dan kelaliman yang banyak dilakukan oleh berbagai bangsa yang saling berperang. Jadi, Islam tak mengizinkan perbuatan yang tak berperikemanusiaan dan tak sopan. Kadang-kadang orang mengutip satu Hadits yang seakan-akan mengizinkan kaum Muslimin menipu dalam pertempuran. Ini disebabkan orang salah menafsirkan kalimat-kalimat Hadits itu. Menipu dan berdusta[4] itu dalam segala keadaan dilarang. Adapun Hadits yang dimaksud, berbunyi: “Rasulullah saw bersabda: Chosroes akan binasa, dan sepeninggal dia tak akan ada Chosroes lagi, dan Caesar akan binasa, dan sepeninggal dia tak aka ada lagi Caesar, dan harta kekayaan mereka akan dibagikan di jalan Allah, dan dia menyebut pertempuran sebagai tipu-daya (khad’atan)” (Bu. 56:157). Kata-kata itu diucapkan oleh Nabi Suci pada waktu beliau menerima laporan bahwa Chosroes merobek-robek surat beliau dan memerintahkan supaya menangkap beliau. Kata-kata itu mengandung ramalan bahwa kekuasaan Chosroes dan Caesar akan lenyap dalam pertempuran melawan kaum Muslimin, dan sepeninggal mereka, tak akan ada lagi kerajaan Persi di bawah Chosroes dan tak ada pula kerajaan Romawi di bawah kekuasaan Caesar. Ternyata penutup Hadits tersebut yang berbunyi: “dan dia menyebut pertempuran sebagai tipu-daya” hanyalah menjelaskan bagaimana Chosroes dan Caesar akan binasa. Perang adalah tipu-daya dalam arti bahwa negara besar kadang-kadang memerangi negara kecil, karena mengira bahwa negara kecil itu mudah dihancurkan, tetapi ternyata negara besar itu tertipu, dan malahan mendatangkan kehancuran pada negara besar itu sendiri. Ini terjadi dalam pertempuran Persi dan Romawi melawan kaum Muslimin. Mereka serentak melancarkan serangan terhadap bangsa Arab, karena mengira bahwa dalam sekejap mata mereka dapat menghancurkan kekuatan baru di tanah Arab. Mula-mula mereka dapat membantu kabilah di garis depan untuk menghalau kekuatan Islam, dan akhirnya mereka terlibat dalam pertempuran dengan kaum Muslimin yang berakhir dengan hancurnya kekuasaan mereka. Inilah penjelasan yang diberikan dalam tafsir Bukhari yang amat terkenal, yakni dalam Kitab ‘Aini, yang berbunyi: “Sekali orang tertipu dalam pertempuran, ia kehabisan tenaga dan akhirnya binasa, dan tak mungkin dapat kembali pada keadaan semula” (Ai. VII, hal. 66). Imam Ibnu ‘Atsir memberi tiga macam keterangan, sesuai dengan bunyi kata-katanya, yaitu Khad’ah, atau khud’ah atau khuda’ah, ketiga-tiganya hampir sama artinya seperti yang diuraikan dalam kitab ‘Aini. Jika diambil ucapan yang pertama, yang konon disebut paling benar dan paling baik, artinya ialah: “Adapun arti kata pertama, ialah bahwa perang itu ditentukan oleh kehancuran, sekali orang yang berperang dihancurkan, ia tak dapat ditangguhkan lagi” (N). Karena hanya kurang sempurnanya pengetahuan bahasa Arab sajalah yang menyebabkan sebagian orang mengira bahwa Hadits tersebut mengizinkan perbuatan menipu dalam pertempuran. Sebenarnya, perang secara Islam itu bersih dari segala sesuatu yang tak pantas, karena kaum Muslimin diberitahu seterang-terangnya, bahwa perang yang ditujukan untuk mendapat keuntungan (baik dalam bentuk harta kekayaan maupun perluasan daerah), bukanlah perang di jalan Allah (Bu. 56:15). Qur’an Suci menguraikan lebih jelas lagi: “Maka dari itu, biarlah orang-orang berperang di jalan Allah yang telah menjual kehidupan dunia untuk akhirat” (4:74).  

 [1]. Duma, Aila, Jarba dan Adruh adalah daerah-daerah yang letaknya di per-batasan Syria. Perjanjian perdamaian itu dibuat pada waktu ekspedisi Tabuk, pada tahun 9 Hijriah.
 
[2]. Dinar adalah mata uang coin emas, yang beratnya lebih kurang 65,4 grains troy (1 grain troy = 372,242 gram).
 [3]. Sekalipun dalam Qur’an Suci dicantumkan perintah agar semua tawanan perang dibebaskan, dan sekalipun Nabi Suci tak pernah membunuh seorang tawanan pun, bahkan membebaskan mereka sebagai karunia, namun Pendeta Klein menulis dalam bukunya Religion of Islam: “Kaum kafir yang ditawan dalam pertempuran yang tak mau memeluk Islam, mereka boleh dibunuh atau ditawan terus … Atau dimerdekakan dengan syarat, bahwa mereka dijadikan Dhimmi, terkecuali kaum penyembah berhala dan kaum murtad yang harus dibunuh” (hal. 179). Ini adalah keterangan yang sungguh tak ada dasarnya samasekali.
[4]. Hadits yang menerangkan bahwa dalam tiga peristiwa, Nabi Ibrahim berkata dusta. Ini harus ditolak, mengingat bahwa Qur’an Suci khusus menekankan akan kejujuran dan ketulusan beliau dengan menyebut beliau siddiq, artinya orang yang amat tulus atau orang tulus yang tak pernah berdusta. Imam Razi menolak Hadits itu dengan alasan bahwa akan lebih masuk akal untuk menyebut rawi yang meri-wayatkan Hadits itu sebagai pendusta daripada mengatakan dusta kepada Nabi Allah (Rz. VII, hal. 151). Peristiwa tentang disebutnya Nabi Ibrahim sebagai orang yang berkata dusta, telah kami uraikan dalam Kitab Tafsir Qur’an Suci. Lihatlah 21:63; 37:89; dan 19:41).




Mengenal Lebih Dekat dengan Jizyah dan Kharaj
Oleh : TelagaKautsar
Dr Said Saad Marthon dalam “ Ekonomi Islam , Di Tengah Krisis Ekonomi Global” sempat mempaparkan intrumen lain yang digunakan oleh lembaga keuangan islam seperti Baitul Mal .Jizyah berasal dari kata “jazaa” yang berarti balasan dan secara istilah ia merupakan harta yang wajib  dibayarkan oleh kalangan ahlu Dzimmi yang bertempat tinggal di sebuah Daulah Islam kepada pemerintah atau penguasa Daulah Islam tersebut (Marthon:2004) .Dalam Sirah Nabawiyah pemberlakuan pertama kali jizyah kepada kalangan ahlu dzimmah dilakukan oleh Nabi Shalallahu alaihi wassalam kepada ahlu hajjar sedang menurut Abdul Qadim Zallum Baginda Rasulullah memberlakukan jizyah juga kepada orang-orang yahudi dan Kristen arab maupun kalangan arab dan nasrani non arab yang hidup di bawah Negara Islam ketika itu (Zallum :2003) seusai itu Jizyah tetap diberlakukan pada era kekhalifahan Abu Bakar yang mengambil jizyah dari kalangan Nasrani Hirah sedang Umar Ibn Khattab pada masa kekhalifahannya mengambil jizyah dari orang-orang nasrani Syam yang berasal dari etnis arab dan non arab . sedang tercatat sebuah riwayat dari Ibnu Syihab bahwa Rasulullah juga mengambil jizyah dari kalangan majusi Hajar , kemudian Abu Bakar memungut jizyah dari kalangan Majusi Persia lalu Ustman Ibn Affan mengambil jizyah dari orang-orang barbar tatkala melakukan perluasan ke kawasan afrika utara (Zallum :2003)


Firman Allah Ta’ala
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi kan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.( Surah At Taubah :29)
Afzhalurrahma dalam “Economics Doctrines of Islam menulis pada era khalifah Umar Ibn Khattab pemberlakukan jizyah dikecualikan kepada kalangan ahlu dzimmah yang telah renta,korban bencana alam atau jika ada seorang ahludzimmah yang tadinya kaya kemudian jatuh miskin maka mereka menurut Umar Ibn Khattab dibebaskan dari Jizyah dan dijamin keberlangsungan hidupnya dari Baitul Mal(Rahman:1995) .Sendainya para Misionaris atau orientalist yang mempelajari Islam hanya untuk mencari cela hendak jujur dan mengakui dalam sejarah bahwa tidaklah sebuah pemerintahan Islam yang dibangun dari konsep yang orisinil dan takkan lapuk sepanjang zaman melainkan output dari pemerintahan yang dibentuk pun sebuah cita rasa masyarakat yangmenjunjung tinggi keadilan social dan menjaga hak azazi manusia .jauh sebelum para pengecut yang berlindung di balik jubah Demokrasi dan Hak Azazi Manusia lalu mengklaim klaim-klaim tak berdasar yang bersendikan hawa nafsu hendak merobohkan bangunan Islam dengan berbagai maker dan konspirasi .Maka sudah dari dulu Amerika Serikat yang kini selalu setia menjadi tangan kanan Zionist tak usah repot-repot mencampuri urusan internal Umat Islam di pelbagai belahan dunia manapun . Karena Islam telah memberikan output yang tergolong sukses dibandingkan dengan wacana-wacana yang diasong para murid Orientalist tersebut .
Jizyah yang diterapkan dalam suatu pemerintahan islam bukan hendak menyamaratkan sebagai  pajak atau uang bayaran yang wajib dibayar oleh kalangan non muslim dengan jalan kekerasan maka seorang yang belajar dengan jujur dan bercermin pada sejarah kegemilangan ummat islam mengimplementasikan konsep Islam pada tataran berbangsa dan bernegara akan berfikir bahwa jizyah yang ditetapkan pun akan dilepas bila pelaku pembayar jizyah tersebut tergolong berusia lanjut dan sudah renta atupun menjadi korban bencana Alam . sebagaimana sebuah riwayat tentang Umar Ibn Khattab dengan seorang pengemis buta yang beragama yahudi ini.
“Suatu Ketika Umar Ibn Khattab berkunjung ke sebuah tempat dan menjumpai seorang pengemis pria yag buta .Umar bertanya kepadanya siapa dirinya, kemudian pengemis buta tadi menjawab bahwa ia adalah seorang Yahudi .Umar bertanya kepadanya apa yang telah memaksa dirinya untuk meminta-minta maka sang pengemis tadi menjawab bahwa yang memaksa dirinya melakukan pekerjaan tersebut adalah kewajiban dirinya untuk membayar Jizyah ,kebutuhan ekonomi, dan Usia lanjut .Selepas mendengar pernyataan tersebut maka Umar membawanya ke kerajaanya dan memberikan apa saja yang tersedia padanya dan mengeluarka perintah ke Baitul Mal untuk membebaskan jizyah bagi mereka yang telah berusia lanjut dan menjamin seluruh kebutuhannya dari Baitul Mal .
Batas-Batas Penetapan Jizyah Dan Besar Jizyah yang Ditetapkan
Sebagai sebuah kewajiban yang wajib dibayarkan oleh kalangan non muslim yang berserah diri hidup dibawah kekuasaan sebuah Daulah Islamiah maka tentu lah ada beberapa batasa sejauh mana jizyah itu akan berlaku dan hal-hal apa saja yang akan membatalkan berlakunya penetapan jizyah terhadap objek pemberlakuan jizyah dan bagaimana fungsi jizyah itu sendiri dalam masyarakat yang bernaung di bawah Daulah Khilafah Islamiyah dan perbandinganya terhadap zakat yang diwajibkan kepada masyarakat muslim


Menurut Abdul Qadim Zallum dalam “Al Amwaal Fi Daulah Islamiyah “ menulis bahwa Jizyah yang ditetapkan dapat dikatakan batal apabila objek penetapan jizyah tersebut telah memeluk Islam dan berganti kewajiban menjadi hanya membayar zakat (Zallum :2003) .Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi[610] sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ."(Surah Al Anfaal :38)
Selain itu asas dasar atau hikmah penetapan jizyah kepada kalangan non muslim adalah sebagai penyeimbang antara jizyah yang harus dibayar oleh ahlu dzimmah dengan zakat yang harus dibayar oleh tiap muslim yang telah baligh .Besarnya penetapan jizyah yang harus dibayarkan tiap-tiap individu non muslim kembali tergantung keadaan ekonomi masing-masing individu tersebut (Marthon:2004) Kerana ketika di masa Umar Ibn Khattab ,sebagai contoh sebuah penetapan jizyah di era khulafa rasyidin , Jizyah ditetapkan tergantung berdasarkan keadaan ekonomi masin-masing tiap individu non muslim tersebut .Seperti bag kalangan yang tergolong kaya , bagi mereka Khalifah menetapkan bayaran sebesar 48 dirham kemudian kepada kalangan mereka yang masih tergolong berkecukupan menengah , Khalifah menetapkan bayaran jizyah yang wajib dibayar sebesar 24 dirham dan kepada kalangan fuqara wal masakin, serta wanita dan anak-anak menurut Afzhalurrahman ,bagi mereka tidak ditetapkan bayaran jizyah .
Selain itu besarnya penetapan jizyah bagi kalangan non muslim juga tergantung keputusan khalifah yang tentunya dalam penetapan jizyah tersebut menjadi berbeda-beda di tiap negeri yang menjadi daerah perluasan kekuasaan Daulah Islamiyah .Seperti halnya di masa Umar Ibn Khatttab , untuk penduduk negeri Syam , Khalifah menetapkan bayaran jizyah bagi kalangan orang-orang kaya sebesar 4 Dinar , kalangan menengah sebesar 2 Dinar dan mereka yang miskin tetapi masih berpenghasilan sebesar 1 Dinar (Zallum :2003) . Namun ternyata beda lagi dengan apa yang ditetapkan oleh Khalifah untuk penduduk negeri Iraq , kepada mereka yang tergolong kaya ,Khalifah menetapkan bayaran sebesar 48 dirham , kepada kalangan menengah Khalifah menetapkan bayaran sebesar 24 dirham , dan 12 dirham kepada kalangan miskin tetapi masih memiliki penghasilan .
Kharaj secara lughah kharaj memiliki makna yang serupa dengan sewa atau upah sedangkan secara istilah kharaj memiiki makna hak kaum muslimin atas tanah atau kawasan yang diperoleh dari kaum kafir dengan jalan paksaan (penaklukan) atau dengan jalan damai tanpa peperangan (diplomasi ) (Zallum :2003).
Atau kamu meminta upah kepada mereka?", maka upah dari Tuhanmu[1012] adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezki Yang Paling Baik.(Surah Al Mukminun :72)
Sementara itu dalam pandangan Imam Al Mawardi dalam “Al Ahkam Al Sulthaniyah “ tentang definisi kharaj bahwa ia merupakan upah yang diberikan atas kompensasi atas pemanfaatan tanah pertanian atas tanah lain yang membawa manfaat atau maslahat bagi kehidupan manusia .Kharaj dapat dipandang sebagai bayaran yang waji diambil dari kalangan kafir ketika tanah yang dijadikan objek kharaj tersebut didapat dari jalan peperangan dengan kaum muslimin dan jatuh ke tangan kaum muslimin maka kaum kafir masih memiliki pilihan untuk tetap memiliki dan mengelola tanah tersebut namun pajak yang diambil dari tanah itu maka disanalah kharaj dipungut .Dan bila tanah tersebut dibiarkan kaum muslimin yang mengelolanya maka bayaran yang ditetapkan atasnya hanya dipandang sebagai sewa .
Abdul Qadim Zallum berpandangan yang dimaksud dengan kharaj sulhi adalah kharaj yang diambil dari kaum kafirin melalui jalan tanpa peperangan didalamnya dan membiarkan kaum kafir tetap menduduki tanah yang telah direbut oleh kaum muslimin dengan kesediaan untuk membayar kharaj kemudian tanah tersebut walaupun telah berganti pemilik atau misalnya telah ditinggali oleh kaum muslimin maka hingga hari kiamat tetap dianggap sebagai tanah kharajiyah (Zallum :2003). Akan tetapi dalam praktik kontempoerer yang diterapkan di negara-negara modern saat ini yang bisa diaplikasikan dalam kharaj adalah ia bermakna sebagai rujukan dalam menyikapi persoalan tanah kosong yang produktif tetapi memiliki pendapatn yang besar (Sakti :2007 )
Kemudian penetapan atas berapa besar kharaj yang dibayarkan di era khalifah Umar Ibn Khattab dengan membiarkan ahli kepercayaan yang bernama Ustman Ibn hanid dengan Hudzaifah Ibn Yaman untuk menalaah dan mengukur apakah tanah yang akan ditetapkan sebagai kharaj merupakan tanah yang subur, produktif,banyak dialiri air sungai,terdapat irigasi, dan lebat hasil panennya ataukah tanah yang akan dikenai kharaj tersebut tergolong tanah yang kering ,tandus, kurang produktif, dan sangat sedikit hasil panen yang dihasilkan .Kemudian bila teha dipastikan maka Umar Ibn Khattab mengestimasikan bagaimanapun kharaj yang yang ditetapkan atas tanah dan penduduk sekitar yan tinggal di atas tanah tersebut tetap bisa hidup layak tanpa kekurangan sesuatu apapun terlbih dapat terhindar dari kebinasaan seperti kelaparan atau penindasan kerana pajak atau kharaj yang ditetapkan terlampau berat .
Secara Global Imam Mawardi dalam “Al Ahkam As Sulthaniyah “ mensyaratkan beberapa hal yang dapat dijadikan patokan dalam pengukuran pengambilan kharaj yang antara lain meliputi Kesuburan tanah , adanya rirgasi atas tanah yang ditanami tanam-tanaman , dan lain-lain .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar